
Dari Komunitas Basis Gerejani Menuju Komunitas Basis Manusiawi: Sebuah Upaya Gereja Katolik Dalam Membangun Dialog Antar-Agama Di Indonesia (Bagian III)
Oleh Drs. Hironimus Pakaenoni, L.Th. (Dosen Fakultas Filsafat Unwira Kupang)
Pada waktu itu, tidak ada tuntutan-tuntutan pendidikan formal mengenai para pemimpin komunitas-komunitas basis yang membimbing anggota-anggota kelompok dalam doa-doa yang dipelajari dengan hati, seperti doa Rosario. Kemampuan mereka sebagai “guru agama” cukup memadai dan karena itu tidak perlu ada latihan khusus bagi mereka. Dirangsang oleh wawasan Konsili Vatikan II tentang Gereja sebagai Umat Allah, kelompok-kelompok basis tahun 1950-an ini selanjutnya dikembangkan pada tahun 1970-an sebagai Komunitas-komunitas Basis Kristiani. Pada periode waktu itu, kelompok-kelompok devosional-tradisional ini mulai terlibat dalam syering-Kitab Suci dan menjadi unit-unit administratif paroki. Konsekuensinya, ada kebutuhan mendesak untuk mengorganisasi pendidikan dan pelatihan lanjut terhadap katekis-katekis biasa dan pemimpin-pemimpin kelompok lainnya. Sejak saat itu, gaya kepemimpinan tradisional diganti dengan gaya modern. (BERSAMBUNG: …2.3.2. Gambaran Umum Mengenai Komunitas-komunitas Basis Kristiani di Indonesia)