
Dari Komunitas Basis Gerejani Menuju Komunitas Basis Manusiawi: Sebuah Upaya Gereja Katolik Dalam Membangun Dialog Antar-Agama Di Indonesia (Bagian III)
Oleh Drs. Hironimus Pakaenoni, L.Th. (Dosen Fakultas Filsafat Unwira Kupang)
Kekristenan bukanlah sekadar sebuah institusi universal sebagaimana didefinisikan dalam kerangka acuan
kerja Gereja hingga abad ke-19, melainkan ia juga seharusnya menjadi Gereja-gereja setempat. Memiliki imam-imam lokal atau pribumi bukanlah sekadar masalah ras, berkulit hitam atau putih. Imam-imam pribumi menyiratkan wajah-wajah lokal yang mengenal secara baik kondisi-kondisi dan ciri khas-ciri khas umat setempat sambil berpikiran terbuka terhadap sifat dan hakekat Gereja universal. Hal ini berarti bahwa sejak semula, Gereja Katolik di Indonesia merupakan bagian dari proses sejarah umat yang hidup di dalam wilayah tertentu
dan bukannya menjadi sebuah “ghetto” atau sekte tertutup.
Ketika P. Frans van Lith merintis sebuah sekolah di Muntilan, Jawa Tengah pada permulaan abad ke-20, beliau telah menempuh arah yang sama. Dari situ, dua figur publik dan utama Gereja Katolik segera muncul sebelum “Orde Baru” didirikan Soeharto pada tahun 1960-an. Dua figur itu adalah I.J.Kasimo dan Mgr. Soegijopranoto. Kita dapat katakan bahwa pada waktu itu, Gereja dan masyarakat telah menemukan pemimpin-pemimpin yang cakap, walau dengan segala keterbatasannya.