
Covid-19, Ateisme dan Kematangan Iman
Menyaksikan pandemi yang menelan menjakiti hampir 16 juta di seluruh dunia, persoalan klasik ini muncul kembali. Bagaimana kita bisa memahami bahwa Allah itu baik, padahal Ia telah merenggut nyawa orang-orang yang amat kita kasihi (orang tua, anak, isteri, suami, sahabat, atau sanak saudara)?
Salah seorang pemikir ateis yang sangat getol menganalisis perilaku orang-orang beragama adalah Sigmund Freud (1856-1939). Bagi Freud, agama hanya bersifat fungsional belaka karena ia merupakan jawaban manusia atas frustrasi yang dialaminya. Kritiknya terhadap agama tertuang dalam karyanya berjudul Die Zukunft einer Illusion (1927).
Menurut Freud, manusia pada dasarnya memiliki keinginan untuk menjadi mahakuasa. Namun keinginan itu selalu saja dibayangi oleh kekuatan-kekuatan alam yang tidak pernah bisa diramalkan dan diatasi seperti penyakit, wabah, gempa bumi, tsunami, air bah, banjir, gunung berapi, dsb. yang mendatangkan maut. Akibat dari ancaman-ancaman itu maka manusia mengalami frustrasi karena ia merasa tidak berdaya (Dister, 1994).