Budaya Egaliter : Habitus Baru Merajut Kedamaian di TTU
Masyarakat TTU menjelang dan pasca Pilkada serentak tidak boleh tercemplung dan hanyut terbawa arus politik yang dibangun di atas iklim perseteruan oleh pihak – pihak penggemar konflik, karena mengabaikan nilai – nilai bajik kekerabatan dan mengeliminir diri dalam fanatisme dangkal adalah potret tidak elok dari cermin retak perpolitikan. Berpolitik untuk mendesain suatu demokrasi yang bermartabat harus memberi nuansa pedagogik, agar masyarakat tidak meredusir politik dalam konteks tipu muslihat belaka.
Masyarakat sebagai pelaku demokrasi perlu dihargai liberalitas nuraninya dalam menentukan pilihan, agar perbedaan sebagai konsekuensi lumrah dari opsi tidak sampai mengerdilkan tatanan etika egaliter. Para politisi yang lahir dari rakyat dan berkapasitas dalam perhelatan politik Pilkada TTU sudah seharusnya memastikan diri berintegritas, berpolitik demi rakyat bukan sebagai lapangan kerja.
Skenario politik perlu dirajut di atas cara – cara yang santun, bukan menunggangi masyarakat sekedar sebagai steeping stone meraih kekuasaan. Bila ditelisik secara objektif, tercabiknya rasa persaudaraan dan terpasungnya kebebasan masyarakat dalam menentukan pilihan hingga mengendorkan nilai – nilai luhur peradaban adalah produk salah didik. Kondisi ini terus menjadi titik rawan karena masyarakat kecil tidak mempunyai cukup nyali melompati pagar loyalitas yang sudah dibangun bertahun – tahun. Padahal etika politik harus mengedepankan kejujuran nurani.