Kalau tidak ada alasan yang jelas, maka hal itu rasanya ngeri sekali. Saya membayangkan di pintung gerbang (lewang) kampung itu berkumpul banyak sekali roh dan arwah para leluhur yang datang dan ingin masuk ke kampung itu untuk menyaksikan pesta bebunyian gong dan gendang tersebut. Itulah religious imagination yang muncul dalam benak saya sebagai anak-anak ketika itu.
Kami Ada Ritual
Apa pun itu, yang jelas ialah bahwa memang bencana kelaparan telah mulai mengancam hidup manusia. Di kampung, lumbung-lumbung di loteng maupun di gudang khusus (sa’o) sudah kosong. Persediaan makanan sudah tidak ada lagi. Keadaan benar-benar kritis, genting. Setelah Rofinus datang sekolah lagi saya bisa bertanya secara langsung kepada dia mengenai alasan dia tidak datang ke sekolah beberapa hari sebelumnya.
“Kamu ke mana saja e Finus?”
Dengan berbisik-bisik, sambil melihat ke depan yaitu ke arah guru, dia menjawab pertanyaan saya itu:
“Manga pandeg ami wa beo e.” (Kami ada bikin sebuah ritual di kampung). Begitu jawab yang ia berikan kepada saya.
“Ritual apa?” tanya saya lagi lebih lanjut kepada dia.
“Ritual mohon ijin untuk masuk ke dalam hutan.”
“Kok pakai mohon ijin segala?”
“Ia e, karena hutan itu bukan wilayah kita. Kata orang tua-tua, hutan itu bukan milik kita. Mereka juga mengatakan bahwa hutan itu adalah wilayah kepunyaan data pele sina.” Begitulah penjelasan Finus dengan cara berbisik-bisik kepada saya agar tidak kedengaran oleh teman-teman lain dan juga terutama tidak kedengaran oleh sang guru.