Berani Mengkritik
Oleh Arnoldus Nggorong, Alumnus STFK Ledalero, tinggal di Labuan Bajo
Kondisi ini tampak jelas dalam kalimat berikut. “Kritik harus konstruktif.” “Jangan hanya pandai mengkritik, tapi juga harus memberi solusi.” “Kritik harus dengan cara yang santun.” Contoh kalimat ini menunjukkan kesalahpahaman mengenai kritik. Dengan demikian kata kritik pun mengalami peyorasi. Kritik dilihat sebagai sesuatu yang buruk, momok, penghalang kemajuan.
Jika disimak lebih dalam, pada hakekatnya, kritik di dalam dirinya sendiri, an sich, mengandung unsur motivasi. Dengan motivasi memaksudkan suatu dorongan atau rangsangan untuk melakukan transformasi, pembaharuan secara radikal. Dengan kata lain, kritik mengaktifkan seluruh sumber daya untuk berada dalam kondisi mawas diri, berjaga-jaga, waspada, kesadaran. Kewaspadaan ini mengkondisikan supaya tetap berada dalam jalur yang sebenarnya.
Contoh kritik yang paling ekstrim berasal dari filosof Jerman, Friedrich Nietzsche, dalam pernyataannya, “Tuhan sudah mati.” Jika kritik Nietzsche ditanggapi secara sentimental, maka akan terjadi pertengkaran, perkelahian yang berujung pada saling membantai, saling membunuh di antara sesama manusia. Sebaliknya bila tanggapan berlandaskan akal sehat, maka masing-masing orang akan berusaha untuk melakukan perbaikan, pembenahan dan pembaharuan.