Belajar di Bawah Pohon
Sebuah Cerpen Dengan Ilham dari SDK Lamba-Ketang (Cerpen Fransis Borgias*)
Menghafal Doa-doa Dalam Bahasa Manggarai
Oleh karena itu, maka kami pun secara bersama-sama dan secara sendiri-sendiri mencoba dan berusaha menghafal doa-doa tersebut dalam Bahasa Manggarai tentu saja. Pagi-pagi, kami akan berkumpul di bawah pohon itu dan mulai menghafal: “Aku kali Mori, Mori Keraeng de hau. Ca, neka io pina naeng one ranga Daku. Sua, neka caro keta bon ngasang de Mori Kraeng. Telu Hiang ga leso de Mori Keraeng. Pat, hiang ga ende agu emam, kudut lewe mosem one lino hoo.” dst. Begitulah rutinitas kami menghafal sepuluh perintah Allah (Dekalog) itu.
Biasanya, bagian inilah yang paling sulit untuk kami ingat dan kami hafalkan, karena kalimatnya rada panjang-panjang. Mulai dari perintah kelima ke atas relatif cukup mudah untuk kami hafalkan karena rumusannya pendek-pendek. Dan semua siswa bisa melafalkannya di luar kepala dan berlomba cepat-cepatan dan keras-kerasan. Kencang dan ramai sekali.
Saya pikir-pikir justru hal itulah yang telah membantu mempermudah daya ingat bagi orang lain. Sebab kata-kata doa itu, karena kami ucapkan keras-keras, tidak lagi hanya tertera dalam bentuk tulisan huruf-huruf di kertas atau buku, melainkan kata-kata itu seakan-akan menjadi hidup dan meloncat-loncat di udara, seperti sedang berterbangan kian kemari. Sehingga dalam seluruh proses belajar (menghafal) ini yang berperan tidak lagi hanya mata yang melihat dan mempelototi bentuk-bentuk huruf, melainkan telinga juga sangat berperan, karena kata-kata itu kami ucapkan secara berirama oleh semua teman-teman. Dengan cara itulah kami saling bantu membantu. “Lima, neka paki ata. Enam, neka ngoeng ata. Pitu, neka tako. Alo, neka nggopet. Ciok, neka humer naim te ngoeng ata. Cempulu, neka humer naim teo ngoeng ceca data.”