Setelah itu ia kembali ke tahtanya dan mencoba mencerna semua yang ia lihat dan saat itu, ia mengalami krisis esensial yang menyebab sang pemuda begitu galau. Berangkat dari kegalauan itu sang pemuda mengambil keputusan untuk merasakan kehidupan di luar zona nyamannya. Kali ini, ia turun tahta dan hidup di dunia baru dengan tujuan untuk merasakan seperti apa menjadi orang sakit, gelandangan, dan kehidupan pahit lainnya. Bertahun sudah ia menjalani hidup penuh dengan penderitaan dan ia menemukan bahwa penderitaan yang ia alami juga tidak ada manfaatnya dan sama halnya dengan zona nyaman yang ia miliki dulu.
Situasi seperti ini benar-benar membuat sang pemuda dilema dan kebingungan semakin merajalela dalam dunia kerja otak. Kondisi ini terus bergulir dan semakin ia berusaha menjauh, semakin dihantui oleh persoalan kehidupan tersebut. Pada puncak kegalauan itu, sang pemuda membasuh diri lalu menuju ke sebuah Katekombe dan menghabiskan waktu berminggu-minggu untuk mencari jawaban. Suatu hari, ia menyadari bahwa catatan-catatan perjuangan untuk bertemu dengan penderitaan ialah cara untuk memperoleh kebahagiaan. Sebab kebahagiaan dapat diutak-atik dan tidak datang dari satu persamaan yang ingin dipecahkan, melainkan muncul dari dalam diri.