
Anggota Komisi VI DPR RI Rafli Menilai Kebijakan Melarang Ekspor Minyak Goreng dan CPO Merugikan Negara
Berdasarkan informasi yang ia terima, data produksi minyak goreng tahun 2021 mencapai 20,22 juta ton. Di antaranya, sebanyak 5.07 ton (25,05 persen) digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, dan 15,55 juta ton (74,93 persen) diekspor. Sehingga dari presentasi tersebut, surplus produksi menjadi sangat besar.
Kebijakan ekspor, urai politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut, hanya perlu diseimbangkan dengan mekanisme subsidi minyak goreng dalam negeri dengan pola Domestic Market Obligation (DMO) dan Domestic Price Obligation (DPO) yang sudah diatur. Kebijakan ini pernah dipraktikan oleh Malaysia, negara penghasil CPO terbesar kedua di dunia dengan harga minyak goreng Rp8.500/kg.
Namun, jika dibandingkan dengan Indonesia, negara penghasil minyak goreng pertama di dunia, harga yang dipatok relatif lebih mahal. Oleh karena itu, Rafli menyarankan agar setiap stakeholder yang berkaitan dan terdampak dengan kebijakan soal minyak goreng itu duduk bersama untuk evaluasi.
“Bila perlu studi banding. Ingat, komoditi ekspor berkontribusi besar bagi devisa. Untuk menjaga stabilitas harga, setiap daerah penghasil kelapa sawit harus ada pabrik pengolahan minyak goreng. Di sisi lain, ada tiga perusahaan besar BUMN TBK penghasil minyak goreng, semestinya pemerintah mampu bikin harga lebih murah,” tandas legislator dapil Aceh I tersebut.*(Edit. Pb-7/ dpr.go.id-ts/sf)
