Tepat satu tahun yang lalu, di awal bulan April, provinsi ini gempar dengan kedatangan Siklon Tropis Seroja yang meluluhlantahkan 16 labupaten dari 22 Kabupaten/Kota yang ada dengan tingkat kerusakan yang cukup parah. Dikutip dari data posko informasi bencana geometeorologi Walhi NTT (10 April 2021) terdapat 118 jiwa meninggal dunia, 53 orang hilang, 47 orang luka-luka, 10.604 orang mengungsi dan ribuan rumah, bangunan, infrastruktur daerah hancur lebur. Apakah ini sesuatu keajaiban? Dan perlu diberikan reward?
Bureau of Meteorology Australia mencatat secara lengkap bahwa Nusa Tenggara Timur mempunyai potensi besar merasakan siklon tropis akibat perubahan iklim ini, namun sebagian besar orang-orang masih berpikir bahwa ini bencana alam biasa bukan bencana ekologis. Padahal sebaliknya, hal ini terjadi akibat keseimbangan ekosistem lingkungan dan pola hidup masyarakat yang terganggu sehingga alam berperang untuk mengembalikan keseimbangan dan keselarasannya.
Pola hidup masyarakat yang sangat konsumtif merupakan satu faktor penyebab krisis iklim. Contoh-contoh perilaku konsumtif tersebut antara lain; pemborosan penggunaan energi, penggunaan plastik yang akhirnya menjadi sampah di permukaan laut, pembakaran dan penebangan hutan, pembuangan sisa-sisa makanan yang memicu pelepasan gas rumah kaca ke atmosfer ataupun pembangunan yang tidak memperhatikan AMDAL (Analisis Dampak Lingkungan).