Kedua, harapan dimaknai dalam ruang lingkup makna dan nilai. Harapan ditempatkan dalam suatu horizon transendental. Harapan yang radikal mendorong hasrat untuk berkomitmen pada nilai keadilan, perdaaian dan keluhuran martabat manusia. Orang yang berharap tidak mereduksi hidup pada determinisme material.
Ketiga, harapan merupakan sebuah kebajikan teologis (virtus). Harapan memungkinkan orang untuk berani berkorban demi kebaikan tertinggi (nilai luhur). Sebagai kebajikan teologis, harapan mengandalkan iman dan kasih. Iman adalah landasan bagi harapan (bdk. Ibr. 11:1). Kasih memperteguh pengharapan. Harapan adalah energi untuk memandang melampaui yang tampak kasat mata (melihat yang tak kelihatan).
Keempat, harapan tidak identik pasrah. Berharap tidak berarti lari dari dunia. Justru di dalam harapan, tanggung jawab menjadi lebih bermakna. Di sinilah termuat dimensi etis. Orang yang berharap melaksanakan tanggung jawab dalam keadaan apa pun, di mana pun dan kapan pun. Dalam arti yang radikal, keberanian memikul salib adalah wujud tanggung jawab. Dalam bahasa sederhana, berani melewati proses, yang di dalamnya ada kerikil tajam dan jurang yang curam. Dengan kata lain, tanggung jawab adalah buah dari harapan.