Ad Multos Annos Republik Indonesia, Quo Vadis Pasca Usia 80 Tahun?

Penulis Walburgus Abulat (Alumnus IFTK Ledalero, Penulis Buku,  dan Pernah Mengajar Logika dan Pengantar Filsafat di Seminari Tinggi Claret Kupang)

Kalau sudah (terealisasi) kita patut menyampaikan profisiat dan ucapan terima kasih. Kalau belum maka kita pun harus terus menyuarakan aspirasi kaum tak bersuara (voice of the voiceless), dan suara kaum terpinggirkan (voice for the periphery) – baik atau tidak baik waktunya (opportune importune).

Dalam konteks terakhir ini, mari kita menggemakan kembali pemikiran  Confusius di atas “Kiranya sulit untuk mengharapkan dari orang-orang yang sepanjang hari menjejali mulutnya dengan makanan sementara itu sama sekali tidak pernah menggunakan otaknya. Bahkan penjudi sekali pun mengerjakan sesuatu dibandingkan mereka yang kerjanya duduk ongkang-ongkang.”

Bersama Bunda Teresa dari Kalkuta kita pun bersuara  bahwa “Agama bukanlah sesuatu yang Anda dan saya  dapat menjamahnya. Agama adalah pengabdian kepada Tuhan dan karenanya merupakan urusan hati nurani. Saya sendiri yang mengambil keputusan bagi diri saya sendiri, dan Anda  bagi diri Anda, apa yang akan kita pilih. Karena itu, tidak ada seorang pun, tidak ada undang-undang dan tidak ada pemerintah atau pun penguasa yang berhak merintangi saya  atau memaksa saya dan siapa saja apabila saya untuk memeluk agama  yang memberikan kepada saya perdamaian, kebahagiaan  dan cinta kasih.”

Berita Terkait
Tinggalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan ditampilkan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. AcceptRead More