Menghapus Batas, Merajut Persaudaraan: Iklusi Sosial dalam Kehidupan Sehari-Hari

Oleh Yuvensius Aldokis Manuk, Mahasiswa STIPAS St. Sirilus Ruteng

Masyarakat Indonesia ditandai oleh kemajemukan budaya, agama, bahasa, dan status sosial. Namun, kemajemukan ini kerap disertai dengan kecenderungan eksklusivisme dan diskriminasi. Kelompok miskin, penyandang disabilitas, dan minoritas sering kali terpinggirkan dalam akses terhadap pendidikan, kesehatan, maupun partisipasi sosial. Situasi ini menimbulkan pertanyaan mendasar: bagaimana masyarakat dapat sungguh merangkul semua warganya tanpa terkecuali?

Gereja Katolik, melalui Ajaran Sosial Gereja, menawarkan prinsip-prinsip dasar yang dapat menjadi inspirasi. Konsili Vatikan II dalam Gaudium et Spes menegaskan: “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga” (GS, 1). Pernyataan ini menegaskan panggilan Gereja untuk hadir bersama semua orang, khususnya yang tersisihkan.

Inklusi sosial bukanlah sekadar slogan, melainkan panggilan kemanusiaan yang lahir dari keyakinan bahwa setiap orang memiliki martabat yang sama. Sayangnya, dalam kehidupan sehari-hari kita masih menjumpai tembok-tembok pemisah: diskriminasi terhadap mereka yang miskin, pengabaian terhadap penyandang disabilitas, atau prasangka terhadap kelompok minoritas.

Berita Terkait
Tinggalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan ditampilkan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. AcceptRead More