
Menggugat Budaya Diam: Perempuan sebagai Mitra Setara dalamTerang Mulieris Dignitatem
Oleh Efrida Anna Sukarti Jou, Mahasiswa Sekolah Tingggi Pastoral Santo Sirilus Ruteng
PERNAHKAH kita bertanya mengapa perempuan masih sering ditempatkan hanya jadi penonton dalam kehidupan sosial, budaya, maupun politik? Pertanyaan ini muncul dari realitas sehari-hari, di mana kita sering menyaksikan perempuan yang lebih banyak duduk diam, mendengarkan, dan menerima keputusan tanpa partisipasi aktif. Namun, ketika menilik kembali kehidupan di dunia ini, tanpa peran perempuan, segalanya tidak akan berjalan dengan baik. Perempuan bertanggung jawab untuk melahirkan, merawat, menyediakan kebutuhan, dan menjaga nilai-nilai yang diwariskan dari generasi ke generasi. Sayangnya, peran besar ini sering disepelekan dalam pengambilan keputusan.
Di berbagai daerah, termasuk di Nagekeo, peran perempuan sering kali ditempatkan pada posisi kedua. Dalam forum adat, biasanya laki-laki yang lebih berani berbicara, menyampaikan pendapat, dan bahkan menentukan keputusan. Seringkali, perempuan hanya diam di belakang, seolah-olah tidak mempunyai suara. Perempuan yang diam sering disalahartikan sebagai kelemahan, namun mungkin saja diam sebagai tanda kepatuhan yang telah diwariskan lama. Di sisi lain, sikap diam yang terus-menerus bisa menjadi belenggu bagi perempuan, yang menghalangi mereka untuk menunjukkan potensi. Jika perempuan dibiarkan hanya menonton, maka mereka akan terlepas kesempatan untuk tumbuh. Akibatnya, dunia akan kehilangan ide-ide cemerlang yang seharusnya bisa muncul dari pengalaman dan perspektif perempuan. Kita tahu bahwa perempuan memiliki kepekaan, ketelitian, dan kekuatan yang berbeda dari laki-laki. Mereka dapat melihat masalah dari sudut pandang yang unik, yang sangat penting untuk melengkapi keputusan kolektif. Maka, pertanyaannya adalah, sampai kapan perempuan harus terus menjadi penonton saja?