
Ketika Suara di Jalanan Lebih Lantang dari Mimbar
Oleh Agnes Hestika Ule, Mahasiswi Semester VII STIPAS St. Sirilus Ruteng
DEMONSTRASI besar yang mengguncang Indonesia pada Agustus 2025 menjadi titik balik dalam perjalanan demokrasi dan menjadi salah satu peristiwa penting dalam sejarah bangsa Indonesia. Jalan-jalan ibu kota dan berbagai daerah dipenuhi lautan manusia dengan teriakan, nyanyian perjuangan, serta poster-poster yang mencerminkan keresahan dan menolak berbagai kebijakan yang dianggap tidak berpihak kepada rakyat, terutama terkait tunjangan besar bagi anggota parlemen di tengah kondisi ekonomi yang semakin menekan masyarakat. Gelombang protes ini menyebar dari Jakarta hingga ke berbagai provinsi, menunjukkan betapa luas dan dalam rasa ketidakpuasan publik. Suara itu begitu lantang, jauh melampaui gema khotbah di mimbar atau pernyataan resmi dari podium kekuasaan. Fenomena ini mengundang refleksi mendalam: mengapa suara di jalan bisa lebih kuat daripada suara di mimbar.
Suara Jalanan sebagai Cermin Kegelisahan
Demonstrasi bukanlah sekadar kerumunan massa yang menutup jalan atau menimbulkan kebisingan. Ia adalah bahasa rakyat ketika saluran formal dianggap tersumbat. Saat rakyat merasa suara mereka tidak dihiraukan oleh para pemegang kekuasaan, jalan raya pun menjadi ruang alternatif untuk menyuarakan kegelisahan. Dalam konteks Agustus 2025, demonstrasi itu adalah letupan akumulasi ketidakpuasan terhadap kebijakan ekonomi yang menekan, ketidakadilan sosial yang semakin nyata, serta lemahnya keberpihakan negara pada kaum kecil. Suara jalanan inilah yang akhirnya terdengar lebih lantang daripada pidato resmi para pemimpin.