BANYAK orang anti-ketawa. Pada titik tertentu, tertawa dan kegembiraan yang menyertainya seperti senyum, canda, gurauan, dan humor pada umumnya dianggap musuh sikap rasional.
Senyum lebar dan ketawa lepas dicap “main-main”. Ada ungkapan begini, “Jangan ketawa, saya serius”. Tertawa disamakan dengan sikap menolak kesungguhan.
Bahkan ada ungkapan rasa dongkol agak kasar dalam Bahasa Manggarai yakni “ncingi ncangas” (ketawa tidak jelas). Mungkin di budaya lain pun demikian. Intinya, banyak pembatasan dilakukan terhadap instrumen kegembiraan ini.
Namun, kontras dengan penggalan kebudayaan semacam itu, studi-studi psikologi secara meyakinkan menaruh humor dalam jajaran tertinggi sikap mental positif manusia.
Rod. A. Martin dalam “Psychology of Humor”, menulis bahwa di berbagai peradaban, humor lebih didambakan daripada kepintaran.
Kualitas karakter yang humoris dilukiskan oleh banyak penulis dalam untaian kata-kata bercahaya. Misalnya, Martin mengutip beberapa penulis abad 19 yang menggambarkan humor sebagai kombinasi dari tertawa dengan elemen cinta, kelembutan hati, simpati, kehangatan hati, atau perhatian.
Kualitas seperti itu menjadikan humor sebagai pilihan terapi untuk berbagai penyakit.
Kualitas yang demikian itu menempatkan humor sebagai salah satu pilihan terapi untuk berbagai jenis penyakit.
Namun, kontras dengan penggalan kebudayaan semacam itu, studi-studi psikologi secara meyakinkan menaruh humor dalam jajaran tertinggi sikap mental positif manusia.
, humor lebih didambakan daripada kepintaran.