Hari Ibu, Tersenyum Untukmu Ibu Pertiwi

Oleh: Fransiskus Ndejeng

Frans Ndejeng
Penulis adalah seorang praktisi pendidikan, pengamat sosial dan pendidikan. Tinggal di Labuan Bajo. Jl. Bandara RT/RW: 001/001, Kelurahan Waekelambu.

Tulisan ini sekadar melihat kembali apa dan bagaimana perjuangan dan kipra kaum ibu dalam rangka melahirkan generasi yang sehat walafiat, baik jasmaniah maupun rohaniah; dalam berbagai aspek kehidupan pada abad 21 ini.

Kaum ibu bukan lagi kaum subordinasi, atau kaum kelas dua yang biasa dianggap sepele oleh kecongkakan peradaban paternalistik kaum Adam. Bahwa bola dunia sudah berputar dan bergulir sebegitu jauh, menggelinding, dengan adanya keterbukaan sistem informasi, demokratisasi dan HAM (Hak Asasi Manusia ). Sekalipun jalan masih terjal untuk menerjang perjuangan kaum perempuan( ibu) dalam usaha dan perjuangannya menerobosi tirani budaya, struktur sosial, sistem kekuasaan , dan peradaban negara.

Dalam rangka memperingati Hari Ibu, 22 Desember 2021, ibu-ibu guru dan pegawai SMP Negeri 1 Komodo, Labuan Bajo; yang terletak di jantung kota wisata super premium, tepatnya di Jln. Mgr. Van Bekum, Kelurahan Waekelambu, Kecamatan Komodo, Labuan Bajo; kaum ibu, mengenakan pakaian kebesaran khas tradisi keibuan yang penuh anggun, santun, cantik dan karismatis; berupa “Deng Towe Songke” (red., Kain Adat, dialeg Manggarai) , dengan atasannya Kebaya yang dihiasi dan dibaluti “selendang budaya” (Asesoris budaya, red.), yang dipakai secara diagonal melingkari batang leher, memanjang tampilan dari atas ke bawah, bagian depan batang tubuh. Kain asal budaya nusantara, dari beranekaragam budaya, sebagai aset dan khasana budaya lokal bergenre nasional.

Mengapa?

Sapaan yang dikenakan kepada seorang ibu amat mulia. Sebab dari rahim seorang ibu lahirlah seorang generasi penerus cita-cita mulia dari gambaran dan citra Allah yang tiada duanya. Tanpa rahim seorang ibu yang mulia, otomatis, kehidupan yang dimiliki bumi mustahil terjadi. Dengan kata lain, tidak ada kehidupan tanpa rahim seorang ibu. Artinya, kehidupan ada berasal dari telur dan rahim seorang ibu. Biar manusia mengagungkan kecanggihan teknologi biomolekuler; dengan menerapkan metode transplantasi embrio, metode in Vitro (bayi tabung), dan berbagai rekayasa genetik lainnya, melalui embrio; tetaplah rahim seorang ibu yang lebih dimuliakan dan diagungkan oleh manusia dan Sang Penciptanya. (Wikipedia, 2021). Dengan kata lain, “Aku dilahirkan oleh seorang Ibu”. Oleh karena itu Aku Selalu Tersenyum Untukmu Ibu.

Dari sejumlah 83 orang guru dan pegawai SMP Negeri 1 Komodo; sebanyak 51 orang adalah terdiri dari Ibu-ibu, 32 orang adalah Bapak- bapak (Data guru dan pegawai SMP Negeri 1 Komodo, 22 Desember 2021).

Dalam kaitan dengan kalimat aku dilahirkan oleh seorang ibu di atas, memiliki makna yang luas dan bersahaja; yaitu begitu bangga terhadap peran seorang ibu yang sangat strategis dan mulia untuk menciptakan kader-kader masa depan generasi, yang sejalan dengan perjuangan organisasi perempuan generasi 1912, masa pencetusan ide menuju kemerdekaan bangsa Indonesia. Disebut jaman pencetus kemerdekaan bangsa. Diwujudnyatakan dalam Kongres Perempuan Ketiga tahun 1938, untuk mendobrak menuju kemerdekaan bangsa Indonesia. Disebut dengan jaman pendobrak menuju titik kulminasi kemerdekaan bangsa, yang disebut proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia, 17 Agustus 1945.

Saat ini, terhitung sejak kemerdekaan bangsa Indonesia, 17 Agustus 1945; kaum ibu senantiasa berjuang bergandengan tangan bahu membahu bersama kaum Adam, untuk mengisi kemerdekaan itu sesuai cita-cita kemerdekaan, yaitu…” kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan”, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. (Alinea Pertama, Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945).

Terbukti, dari generasi ke generasi kaum perempuan selalu berjuang dalam mengisi kemerdekaan itu dengan mengambil bagian dalam proses pembangunan bangsa. Antara lain; melalui pendidikan, politik, ekonomi, sosial budaya, dan humaniora.

BACA JUGA:
Jangan buat "Iba" Hati "Ibu"

Dari cita-cita untuk menyiapkan masa depan keluarga (unit terkecil ), daerah,dan bangsa Indonesia, demi masa depan perjuangan para pejuang kaum perempuan secara universal, baik nasional maupun kedaerahan, tidak hanya sebatas retorika semata. Namun, dapat dibuktikan dengan aneka kemampuan secara akademik, keterampilan, kemampuan profesional dan karier, telah membuktikan bahwa kaum ibu, tidak sekadar mengurus rumah tangga saja diarea domestik. Sudah merambah ke dunia yang lebih luas, seperti dunia politik, ekonomi, sosial budaya, kependidikan dan humaniora, hukum, dan sebagainya. Yang sebelumnya, dimonopoli oleh kaum lelaki. Kaum ibu hanya sebatas urusan rumah tangga semata saja.

Roda sudah berputar menggeliding dunia arogansi dan feodalisme kaum laki-laki. Kaum perempuan dan perjuangannya semakin menggeliat hampir di semua bidang dan sektor kehidupan. Kita ambil contoh saja, dibidang politik dan ekonomi. Ketua DPRD provinsi NTT dipimpin oleh ibu Nomleni, Ketua DPR Republik Indonesia dipimpin oleh ibu Puan Maharani, anak seorang mantan Presiden kelima RI, ibu Megawati Sukarnoputri, yang perkasa dan tangguh melawan tirani Orde Baru. Menteri Luar Negeri, ibu Retno M.P Marsudi, Menteri Keuangan, Ibu Seri Muliyani,yang amat berani mengambil keputusan dalam kabinet Indonesia Maju dan melawan arogansi kaum lelaki di negeri ini. Menteri Sosial, ibu Tri Rismarini, dianggap galak oleh kaum Adam negeri ini, sebagai wali kota Surabaya yang sukses dua periode. Dan, masih banyak yang lainnya yang tidak sempat penulis sebut dan tuliskan namanya secara lengkap pada artikel ini, baik sebagai kepala desa, kepala daerah, dan menteri. Juga di dunia birokrasi pemerintahan dan Badan Usaha Milik Negara dan Swasta.

Latar Belakang Sejarah

Sejarah lahirnya Hari Ibu, bermula dari Kongres Perempuan Indonesia III yang digelar di kota Bandung pada tanggal 22 Desember 1938. Melalui kongres Perempuan tersebut, akhirnya ditetapkan secara resmi, bahwa setiap tanggal 22 Desember setiap tahun diperingati sebagai “ Hari Ibu”. Kalau kita menelusuri sejarah berdasarkan Kongres Perempuan pertama di Jogyakarta, 22-25 Desember 1928, setelah kurang lebih tiga (3) bulan setelah melaksanakan Kongres Pemuda Indonesia, disebut Sumpah Pemuda, berarti 22 Desember 2021, genap berulangtahun Hari Ibu yang 93. Memperingati perayaan Hari Ibu, yang dirayakan dengan cara yang berbeda di seluruh dunia. Dengan kekhasan setiap negara, menunjukkan betapa mulianya hati seorang ibu. Kongres Perempuan kedua, 22 Desember 1935 di Jakarta.

Dengan ditetapkannya Hari Ibu dari hasil Kongres Perempuan Indonesia III di kota Bandung tersebut, diharapkan perjuangan para perempuan Indonesia akan selalu dikenang dan dihargai atas jasa-jasanya dalam rangka membantu meraih kemerdekaan Republik Indonesia. Sesungguhnya, tidak sekadar kita memberi predikat ibu dalam diri kaum perempuan Indonesia, tetapi lebih dari itu, bahwa perempuan Indonesia, telah memperjuangkan dengan penuh semangat dan gagah perkasa, untuk mematangkan menuju kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajahan bangsa Barat. Termasuk penjajah bangsa Jepang, dari Asia Timur.

Diketahui, organisasi perempuan sesungguhnya, sudah ada sejak tahun 1912, para pejuang kaum perempuan Indonesia; seperti Raden Adjeng Kartini, Cut Nyah Dien, Christina Tiahahu, Cut Mutiah, Walanda Maramis, Dewi Sartika, Rangkayo, Kasuma Said, Nyaih Achmad Dahlan, dan banyak lagi yang lainnya. (Chintya Sami Bayangkari, 2021).

Apa makna Hari Ibu untuk generasi? Untuk menjawab gugatan peran kaum ibu dari perayaan hari ibu, yang jatuh tepat pada tanggal 22 Desember setiap tahun; penulis mencoba menawarkan beberapa pandangan dan Rekomindasi buat jutaan kaum ibu di negeri ini. Pertama, Terus galakan pengarusutamaan gender. Pola dan praktek yang tepat untuk mengubah mainsed ini, kaum ibu yang mengabdi di sektor pendidikan, menjadi pilihan yang tepat untuk mengawal seringnya melakukan tindakan diskriminatif terhadap kaum perempuan. Pelecehan seksual dan kekerasan fisik dan non fisik yang sering terjadi di ruang publik, area domestik dan di sekolah menjadi hal penting untuk dikawal agar terhindar dari tindakan semacam itu. Gerakan yang digemakan oleh para aktivis sosial, kaum perempuan hingga para politikus Indonesia, membuat kesadaran kaum perempuan akan kesetaraan gender (pengarusutamaan) gender semakin meningkat, seraya terus menuntut hak yang sama dengan kaum laki-laki.

BACA JUGA:
Hannah Arendt: Menilai Tindakan Politik dan Pencaharian Makna

Isu yang sudah lama dihembuskan, adalah Pernikahan Dini yang merugikan kaum perempuan. Berdasarkan laporan PBB tahun 2004, 13 % perempuan Indonesia menikah pada umur 15-19 tahun. Kebanyakan terjadi di daerah pedesaan. Kasus seperti ini tidak bisa hanya mengandalkan kaum perempuan saja untuk memecahkan masalah ini. Butuh kerjasama semua elemen masyarakat dan bangsa, antara lain para tokoh agama, tokoh adat dan budaya, tokoh perempuan dan tokoh politik, sosiolog, budayawan, dan tokoh pendidikan dari berbagai tingkatan untuk memberi pemahaman dampak yang terjadi terhadap perempuan jika dipaksakan nikah dini pada usia yang belum matang.

Kedua, terus melakukan sosialisasi dan konsolidasi tentang peran pengarusutamaan gender di lembaga pendidikan. Dengan memberi kesempatan kepada kaum ibu untuk dijadikan sebagai contoh konkrit dari produktivitas kaum wanita yang bekerja di sektor pendidikan, misalnya guru. Di sektor ekonomi dan perbankan, di sektor militer dan keamanan negara, seperti tentara wanita dan polisi wanita. Dan lain sebagainya. Memang, butuh waktu dan proses yang panjang dan bertahap sejalan dengan kebijakan politik negara. Tidak sekilat seperti membalikkan telapak tangan. Masih terbatas kebijakan pemerintah dan politik di negeri ini, seperti diberi kuota 30% partisipasi politik.

Ketiga, Menghindari terhadap maraknya perdagangan perempuan dan prostitusi. Dari data departemen kesehatan tahun 2004, menemukan bahwa 90% perempuan mengakui telah mengalami beberapa bentuk pelecehan seksual di tempat kerja( Badan Pusat Statistik), tahun 2003. Akhir-akhir ini sering terjadi kekerasan seksual di lembaga pendidikan dasar dan menengah serta lembaga pendidikan tinggi. Pelakunya adalah rata-rata akademisi kawakan tapi tidak bermoral. Selain itu, sering terjadi prostitusi online yang melakukan perdagangan perempuan, berupa transaksi online.

Keempat, menghindari kekerasan fisik berupa KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga). Menurut survey demografi dan kesehatan tahun 2003, hampir 25% perempuan menyetujui anggapan suami boleh memukul istri, apabila berbeda pendapat, isteri pergi tanpa memberi tahu, isteri tidak menyusui anak, dan sebagainya. Kesan dan fakta di atas, bahwa dari hari kehari , sepertinya semakin marak kekerasan terhadap perempuan di area domestik, berupa Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Apalagi dengan berbagai alasan ekonomi dan sosial budaya di masa pandemi virus Corona ini, dimana, terasa sulit untuk tidak dijadikan sebagai alasan pemicu, sekaligus sebagai penyebab KDRT.

Akhirnya, Penulis ucapkan Selamat Hari Ibu yang ke 83, 22 Desember 2021, Semoga Dengan Perayaan Hari Ibu Membuat Ibu-Ibu Tersenyum selalu Untuk Ibu Pertiwi. Semoga!

Berita Terkait
Tinggalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan ditampilkan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. AcceptRead More