Hukum Tertulis (UU) Wajib Dibentuk Dengan Itikad Baik

Oleh: Yulianus Soni Kurniawan, SH.,MH (Lawyer)

Jika gejala tersebut diterjemahkan ke dalam hukum maka dapat dikatakan bahwa, konflik kepentingan itu terjadi karena manusia berada bersama manusia lain dan manusia lain juga berada karena dirinya sebagai bagian dari kelompok. Agar eksistensi manusia dalam ko-ekstistensi tidak kebablasan maka hukum diciptakan. Dengan kata lain, hukum dibuat karena eksistensi manusia dicurigai oleh manusia lain sebagai malapetaka. Oleh karena itu, agar tidak terjadi konflik kepentingan, hukumpun dipercayai sebagai jembatan yang equal untuk mengharmonsiasi setiap kepentingan agar tidak saling mencelakai. Pada titik ekstrim, dapatlah dikatakan hukum ada karena manusia mengalami krisis kepercayaan kepada manusia lain. Penegasan ini penting, sekaligus menjadi otokritik terhadap hukum yang dibentuk agar tidak menunjukan citra yang buruk terhadap kepercayaan masyarakat. Secara praksis untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat maka hukum yang dibentuk harus dimulai dari kesadaran bahwa UU sebagai wujud konkret hukum tertulis, dibuat dengan itikad baik. Dalam konteks itu, Itikad baik harus terpatri dalam teks-teks hukum yang merepresentasi semua kepentingan bukan hanya golongan-golangan tertentu, kelompok-kelompok tertentu atau orang tertentu. Itikad baik juga bukan hanya sekedar sadar bahwa teks-teks hukumnya keliru dan menyerahkan sampah-sampah pengujian pada lembaga-lembaga yudisal tetapi memiliki kesadaran etik dengan tau dan mau mengubah/merevisi teks-teks hukum yang menyimpang sebelum diberlakukan.  Karena itu, UU yang memiliki landasan itikad baik harus dibentuk dengan jujur, memenuhi syarat pastipasi publik, rela dikritik dan diubah jika mengancam keselamatan hidup yang baik dalam kebersamaan.  Tanpa itikad baik yang jelas dan konkret, hukum yang dibentuk dapat menjadi suatu ancaman nyata bagi masyarakat yang secara sukarela telah menundukkan dirinya pada hukum.  Apabila sudah menjadi ancaman bagi kemashlatan bersama maka meminjam pemikiran Thomas Hobbes, jika diterapkan dalam hukum menjadi hukum adalah serigala bagi warganya sendiri. Konsekuensinya adalah keadaan perang permanen (bellum omnium contra omnes) atau kontroversial berlangsung secara terus-menerus. Sebagai catatan Thomas Hobbes ini adalah pemikir yang menutup ajaran Renaissance dengan gagasan absolutisme raja yang dipraktekkan oleh Raja Louis XIV dan Louis XVI sebelum digulingkan oleh Revolusi Perancis [Budiono Kusumohamidjojo:2011].

Berita Terkait
Tinggalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan ditampilkan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. AcceptRead More