
Beberapa penyakit yang sering dialami oleh politikus termasuk stres dan kecemasan, yang dapat muncul akibat tekanan untuk selalu tampil baik di hadapan publik atau menghadapi ketidakpastian politik. Kondisi ini, jika tidak dikelola dengan baik, dapat berkembang menjadi burnout—kelelahan emosional dan fisik yang mengurangi motivasi dan produktivitas mereka. Selain itu, depresi juga bisa muncul sebagai akibat dari tekanan eksternal atau kegagalan dalam karier politik. Politikus juga rentan terhadap kecanduan, baik terhadap alkohol atau obat-obatan, sebagai cara untuk mengatasi stres emosional yang mereka rasakan.
Mengatasi stres politik telah menjadi perhatian banyak ahli di bidang psikologi, manajemen, dan politik. Daniel Goleman, seorang ahli kecerdasan emosional, menekankan pentingnya kecerdasan emosional (EQ) dalam menghadapi stres. Politikus dengan EQ tinggi mampu mengenali dan mengelola emosi mereka secara rasional, menghindari reaksi emosional yang berlebihan, serta membuat keputusan yang lebih baik. Selain itu, Susan David mengajukan konsep “emotional agility” yang memungkinkan politikus tetap fleksibel dalam menghadapi tekanan. Dengan menerima perasaan negatif dan mencari solusi praktis, mereka dapat lebih mudah beradaptasi dalam situasi politik yang penuh ketidakpastian. Jon Kabat-Zinn, pendiri program Mindfulness-Based Stress Reduction, menyarankan praktik meditasi dan mindfulness untuk tetap fokus pada saat ini dan menghindari kecemasan terkait masa depan. James Dobson juga menekankan pentingnya dukungan sosial untuk membantu politikus mengelola stres, dengan dukungan dari keluarga dan teman-teman sebagai sumber motivasi dan rasa aman.