Tetapi rupanya tidak demikianlah yang ada dalam konstruksi berpikir orang Manggarai. Sebab dalam cara berpikir orang Manggarai yang mereka maksudkan ialah justru kebalikannya: Ntaung olo berarti tahun yang sudah lewat, tahun yang sudah berlalu. Sedangkan Ntaung musi berarti tahun yang masih akan datang, yang masih akan menyusul dari belakang untuk kemudian berjalan terus ke depan, dan akhirnya berlalu. Jadi, tahun baru itu tidak kita “hadapi”, kita songsong, melainkan ia “mendatangi” kita dari belakang. Dan saat ia lewat kelak, kita seakan-akan melihatnya dari belakang, sedang berjalan lewat.
Bagaimana Kita Bisa Menjelaskannya?
Bagi saya, cara berpikir seperti itu agak rumit. Lalu bagaimana kita dapat menjelaskan kerumitan itu? Itulah yang ingin saya upayakan dalam bagian ini. Menurut pendapat saya, Filsafat waktu orang Manggarai ini harus dimengerti dalam konteks sebuah gerak perjalanan. Kalau kita sedang berada dalam sebuah perjalanan, maka orang-orang yang sudah melewati kita, kita katakan, olo d ise bao ga, artinya mereka sudah berjalan di depan, melewati kita, mendahului kita. Sedangkan orang yang masih di belakang kita, kita katakan, musi kid ise ye, artinya mereka masih di belakang, dan itu berarti mereka masih akan menyusul, masih akan mendatangi kita di sini dan saat ini.