Wajah yang ke depan ialah wajah untuk menerawang ke masa depan, ke cakrawala waktu yang masih “mendatangi”, yang masih akan terjadi. Sedangkan wajah yang ke belakang ialah wajah untuk menerawang ke masa silam, ke cakrawala waktu yang sudah berlalu, sudah dialami, sudah ditandai dengan bekas-bekas dan berkas-berkas pengalaman manusia.
Kiranya sang dewa bermuka dua agar bisa melakukan tugas menerawang ke masa depan dan menengok kembali ke masa silam. Kita manusia pun membutuhkan kemampuan seperti itu juga. Yaitu bisa memandang, menerawang ke masa depan (yang belum terjadi) dan sekaligus menengok ke masa silam (yang sudah terjadi). Tetapi tentu kita manusia tidak usah harus bermuka dua seperti sang dewa itu untuk dapat melakukan penerawangan baik ke masa silam maupun ke masa depan. Akan buruk sekali tampangnya kalau manusia bermuka dua seperti itu. Apalagi kata “muka-dua” itu dalam realitas sosial kita berkonotasi negatif. Dalam pemakaian sehari-hari, muka dua itu artinya plintat-plintut, tidak ada pendirian, mudah ke sana dan kemari. Tidak punya sikap yang jelas.