TAHUN 2022: Kick Off Kebangkitan Alam Untuk Indonesia Raya & Dunia (Bagian 2 dari 3 Tulisan)
Oleh Komarudin Watubun, SH, MH (DPR-RI 2019-2024)
Alasannya, antara lain, lingkungan virtual sulit menyaring disinformasi, spionase, dan surveilens. Kendali infrastuktur fisik Metaverse mungkin melahirkan konflik lintas batasnegara. Batas-batas riil tiap negara-bangsa menjadi kurang relevan. Sebab Metaverse adalah supranasional. Ini tentu mengubah pola pikir dan pola hubungan antar negara-bangsa. Risiko ini harus diantisipasi pada level global dan negara-bangsa; khususnya, jika ekosistem virtual-digital akhirnya mengendalikan cara-kerja, pola-pikir, dan gaya-hidup warga-negara.
Kini ilusi, imajinasi, dan kreasi Metaverse hadir di mana-mana. Ada pesona konser virtual menarik-minat audiens. Desainer papan atas dunia menjual feisyen virtual; gaming seolah-olah menjadi suatu ‘kehidupan ke-2’ (second-life) bagi banyak orang di berbagai negara. Lagi pula, perusahan Fortnite, Minecraft, dan Roblox memudahkan pengguna bersosialisasi, berbelanja, dan mengikuti lingkungan-virtual-digital. (Zoe Wienberg, 2021)
Dalam Metaverse, seorang dapat diwakili oleh avatar pseudonim. Ini melahirkan era spenionase baru. Akhir-akhir ini, spenionase digital digunakan oleh banyak negara guna mengakses properti intelektual komersil, teknologi militer, hingga informasi keuangan, dan pribadi warga-negara. Risiko ini sangat serius, khususnya Metaverse yang nyaris berisi seluruh aspek kehidupan warga negara, yakni kerja, hubungan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, aset, dan identitas! Apalagi, banyak negara memakai teknologi pengenal-wajah (FRT/facial-recognition technology) guna memantau perilaku tiap orang.