Sumpah dan Janji DPR: Antara Harapan dan Kenyataan (Memaknai Pelantikan Anggota DPR)

Oleh Dionisius Ngeta, S. Fil (Asal Nangaroro Nagekeo, Staf YASBIDA Maumere)

Ada pepata klasik: “Janji adalah hutang yang harus dibayar”. Kata-kata tersebut bukanlah sebuah hiasan pribahasa semata. Lebih dari itu. Makna yang terkandung dalam kata-kata tersebut adalah bahwa janji sama halnya kita berhutang. Ada hak seseorang atau orang lain di dalamnya yang harus dibayar lunas. Tetapi jika janji tidak terealisasi, maka sungguh sakit hati. Rasa tenang masyarakat yang dijanjikan
dihempaskan dengan harapan semu. Mereka dibohongi dengan janji-janji manis tapi kenyataan palsu. Sering begitu murah dan mudah janji-janji dilontarkan politisi ke ruang publik, seolah-olah masyarakat diyakinkan bahwa mereka bisa diandalkan atau dipercayai.

Karena itu hemat saya, harga sebuah janji tidak hanya diucapkan dengan katakata. Tetapi lebih dari itu karena: Pertama, ada keterikatan moral untuk melaksanakannya. Janji akan jadi hambar jika sering-sering diucapkan tapi nihil pelaksanaan atau tanpa kenyataan.

Kedua, dapat diandalkan. Ketika janji dapat dilaksanakan sebagai bentuk pertanggungjawaban moral, maka kredibilitas masyarakat tehadap dewan akan terus meningkat. Bagi anggota dewan yang dapat merealisasikan janjinya, tentu akan terus diandalkan atau terus dipercayai masyarakat untuk periode-periode selanjutnya. Karena harapan mereka telah menjadi kenyataan, janji telah terbukti.

BACA JUGA:
“Sada-Peda, Peda-Pani, Peda-Podo” dalam Tradisi Masyarakat Adat Woko Mbamo Kec. Nangaroro Kab. Nagekeo (Sebuah Tinjauan dan Perpektif Sosial Budaya)
Berita Terkait
Tinggalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan ditampilkan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. AcceptRead More