Sumpah dan Janji DPR: Antara Harapan dan Kenyataan (Memaknai Pelantikan Anggota DPR)
Oleh Dionisius Ngeta, S. Fil (Asal Nangaroro Nagekeo, Staf YASBIDA Maumere)
(BAGIAN 2)
Janji adalah hak yang harus dibayar
Janji bukan soal kemampuan mengartikulasikan kata, lalu diungkapkan kepada seseorang atau kepada masyarakat. Tapi soal bukti bahwa telah direalisasi agar harapan atas hal yang dijanjikan menjadi nyata dan keadaban para pihak yang terlibat dalam perjanjian dimuliakan terutama yang terhormat para legislator. Angota DPR RI/DPRD sering mengumbar-umbar janji setiap hajatan politik dan demokrasi. Kita tentu ingat pepatah klasik ini: “Lida tak bertulang”! Atau salah satu syair lagu Exist, Mencari
Alasan: “Manis di bibir, memutar kata. Siapa terlena pastinya terpana. Bujuknya rayunya suaranya. Yang meminta simpati dan harapan”.
Lidah dan bibir memainkan peran yang sangat sentral dalam berbicara apalagi lidah dan bibir seorang politisi. Bicara dan janji adalah nyawanya positisi. Bicara dengan kata-kata indah dan berjanji dengan kata-kata manis adalah salah satu selebrasi yang sering kali mendominasi setiap hajatan politik dan demokrasi, entah Pilkada, Pilgub, Pileg atau pun Pilpres. Seolah-olah selebrasi politik tanpa janji-janji manis bukanlah hajatan demokrasi.