Singa Tak Pernah Anggap Meongan Kucing
Oleh Dionisius Ngeta, Pemerhati Masalah Sosial-Kemanusiaan, Warga RT/RW 018/005 Kelurahan Wuring, Kec. Alok Barat, Flores Nusa Tenggara Timur
Kebebasan berpikir dan mengeluarkan pendapat atau suara-suara kritis atas kekurangan seseorang termasuk Presiden Jokowi mestinya tetap mengedepankan ETIKA dan PENGHORMATAN TERHADAP NILAI-NILAI KEMANUSIAAN SESEORANG. Pernyataan dan suara-suara kritis atau “meongan” penuh hinaan justeru merendahkan dan merusak KEBEBASAN dan DUNIA AKADEMIS itu sendiri.
Saya justeru melihat Roky Gerung adalah pengamat politik SARKASTIS dan BARBARIS yang sering “mengeong” tapi JAUH dari ETIKA dan PENGHORMATAN terhadap NILAI-NILAI KEMANUSIAAN. Dan saya prihatin, Roky Gerung adalah salah satu anak negeri yang “mengeong-ngeong” alias masih hidup dalam PENINDASAN KOLONIAL secara INTELEKTUAL karena dia sering menggunakan diksi-diksi usang peninggalan Kolonial seperti tolol, dengkul, bajingan, dan lain lain.
Hal ini menunjukkan bahwa Roky Gerung masih jauh dari sensitivitas atau rasa bahasa dan keadaban dalam menggunakan kata-kata di ruang publik. Menurut Prof. Rhenald Kasali Ph.D, Roky Gerung memiliki masalah romantisme percintaan, karena bahasa sesungguhnya mengajarkan rasa cinta kepada sesama manusia.