Singa Tak Pernah Anggap Meongan Kucing
Oleh Dionisius Ngeta, Pemerhati Masalah Sosial-Kemanusiaan, Warga RT/RW 018/005 Kelurahan Wuring, Kec. Alok Barat, Flores Nusa Tenggara Timur
Nada “meongan” Roky Gerung ketika melontarkan kritikan pun telah diketahui Jokowi. Bagi Presiden Jokowi, “tone” dan diksi, pilihan kata “meongan”-nya pasti sama dan itu-itu saja alias jauh dari etika dan keadaban. Karena itu Presiden Jokowi dengan santai menanggapi pernyataannya sebagai hal yang lumrah, hal yang kecil dan memilih konsisten dan fokus bekerja saja sebagai hal yang lebih penting.
Nada “meongan” Roky Gerung sesungguhnya adalah gambaran dirinya sendiri. Intonasi, diksi, kalimat atau bahasa yang digunakan Roky Gerung sesungguhnya menunjukkan keadabannya. “Manusia yang beradab adalah manusia yang respect pada orang lain, baik sebagai pribadi/individu atau kedudukan mereka” demikian penulis berkebangsaan Rusia (1860-1904) Anton Pavlovich Chekhov. Jika Roky Gerung adalah seorang intelektual-akademisi semestinya dia menunjukkan keadabannya sebagai seorang yang respect terhadap semua orang, siapa saja termasuk kedudukan atau jabatannya.
Benar, Roky Gerung adalah salah satu putera terbaik bangsa, anak kandung negeri ini yang cerdas dan jago berorasi. Suara “ngeongan”-nya sangat kritis. Tapi sering kali intonasi, diksi atau pilihan kata-katanya sangat sarkastis, barbaris, bombastis dan tanpa data yang merendahkan keadabannya sebagai seorang pengamat politik, akademisi, intelektualis dan pengajar filsafat. “Anda boleh jadi jagoan orasi. Tapi ingat bahwa bahasa dan diksi/pilihan kata memiliki makna dan intonasi. Bahasa adalah keadaban” demikian Prof. Rhenald Kasali Ph.D (katalogia.com,Kamis,03/08/2023).