Selamat Berpesta Kapitalis Asing
Adhi Azfar_Center of Development Studies, Tenaga Ahli DPR-RI
RUU Cipta Kerja ini bahkan memberikan fasilitas imigrasi dan keamanan bagi pendatang asing untuk masuk ke Indonesia melalui Kawasan Ekonomi Khusus.
Padahal di UU eksisting (UU No.39 tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus), fasilitas hanya diberikan kepada pelaku usaha yang memiliki izin usaha di KEK, baik di bidang perindustrian maupun perdagangan.
Bukan lagi mengucapkan “Selamat Datang,” untuk para kapitalis asing. Kenyataannya para kapitalis asing itu sebenarnya telah lama hadir dan menguasai kekayaan alam Indonesia.
Dengan disahkannya RUU Omnibus Law Cipta Kerja, mereka kini sedang mempersiapkan hajatan pesta besar. Mereka masuk ke Indonesia semakin merajalela.
Peluang itu ada di pasal 38, perubahan UU Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), dimana RUU Cipta Kerja memberikan kemudahan bagi orang asing, meski bukan pelaku usaha di Kawasan ekonomi kreatif. Pasal tersebut sangat, membuka pintu masuk kepentingan asing ada di Indonesia.
Tidak hanya itu, RUU Cipta Kerja ini bahkan memberikan fasilitas imigrasi dan keamanan bagi pendatang asing untuk masuk ke Indonesia melalui Kawasan Ekonomi Khusus.
Padahal di UU eksisting (UU No.39 tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus), fasilitas hanya diberikan kepada pelaku usaha yang memiliki izin usaha di KEK, baik di bidang perindustrian maupun perdagangan.
Sedangkan tanpa klausul RUU Ciptaker ini, saat ini bahkan sudah berdiri pabrik smelter (pemurnian) atau peleburan bijih nikel di Pulau Sulawesi.
Prusahaan asal China ini diberikan insentif tax holiday (pembebasan pajak) selama 25 tahun. Para pekerja asing bahkan tidak menggunakan visa pekerja, melainkan berstatus turis. Ratusan ribu hektar area pertambangan dikuasai.
Lalu Negara dapat apa? Payroll Taxes? Ternyata tidak. Warga asing yang bekerja di perusahaan itu “digaji” dalam bentuk biaya hidup, akomodasi dan uang saku. Sedangkan gaji aslinya dikirim ke keluarganya di Negara asalnya. Corporate Income Taxes?
Belum tentu ada. Peluang fasilitas kemudahan investasi dan pembebasan pajak atas impor serta fasilitas fiskal lainnya, sangat mungkin lebih besar dari Corporate Tax yang diterima Negara.
Masuknya impor barang juga tak ada lagi pembatasan. Ini dapat dilihat di pasal 27 dan 32 perubahan UU tentang KEK, dimana RUU Cipta Kerja ini bahkan memberikan fasilitas impor barang konsumsi ke Kawasan Ekonomi Khusus baik fasilitas pajak dan kepabeanan meski kegiatan usaha utamanya bukan produksi dan pengolahan.
Ketentuan ini mencederai rasa keadilan bagi usaha rakyat kecil disekitarnya, yang akan terdampak dan tergusur dari tanahnya sendiri, terjepit diantara hadirnya kapitalis asing.
Pemilik modal besar hadir merampas hak rakyat Indonesia untuk menikmati kekayaan bangsanya sendiri. Itu baru 1 cerita dari UU Kawasan Ekonomi Khusus, yang diubah oleh RUU “Sapu Jagat” Cipta Kerja ini. Total ada 79 UU yang diubah oleh RUU Cipta Kerja.
UU berikutnya adalah UU No.25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal. RUU Omnibus Law ini menghapus ketentuan tentang produksi senjata dan peralatan perang yang tertutup bagi penanaman modal asing.
Artinya, terbuka peluang penanaman modal asing pada Industri Pertahanan Keamanan Nasional. Ini termaktub dalam Pasal 12, perubahan UU Penanaman Modal.
Masih di pasal 12 tersebut, RUU Cipta Kerja ini telah menghapus ketentuan tentang bidang usaha yang terbuka bagi penanaman modal dengan persyaratan.
Ketentuan tersebut selama ini melindungi UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah) dari penguasaan usaha bermodal besar, karena pemilik modal asing dibatasi di usaha tanaman tebu, budidaya ikan, pengrajin kayu kecil dan usaha kecil lainnya.
Kini persyaratan itu dihapus, hilang sudah perlindungan untuk Usaha Kecil Menengah (UMKM), akibat hilangnya bidang usaha yang khusus dicadangkan bagi UMKM.
Ketidakadilan dalam penerapan insentif juga tercermin dalam RUU Cipta Kerja yang mengubah UU Penanaman Modal, pasal 18 ayat 13 huruf k.
RUU Cipta Kerja ini mensejajarkan antara UMKM, Industri yang menjaga kelestarian lingkungan dan Industri yang berada di daerah terpencil, dengan bisnis pariwisata diskotik, kelab malam dan panti pijat.
Lewat perubahan dalam RUU Ciptaker ini, ada peluang pemberian insentif fiskal dan perpajakan bagi para investor yang menanamkan modal untuk industri diskotik, kelab malam dan panti pijat.
Plus+ kriteria “pengembangan usaha pariwisata” sebagai kriteria usaha yang mendapat fasilitas dari pemerintah, berpotensi masuknya usaha diskotik, karaoke dan kelab malam sebagai usaha yang mendapat fasilitas dalam penanaman modal, sebagaimana kategori pariwisata dalam Permen Pariwisata No.10/2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik.
Bab yang paling krusial dalam RUU Cipta Kerja ini adalah Bab 10 tentang Investasi Pemerintah Pusat, yang melahirkan lembaga baru bernama Lembaga Pengelola Investasi (LPI).
Ada potensi hilangnya hak pengelolaan Negara atas aset-aset dan kekayaan Negara, dengan berubahnya frasa “aset negara” menjadi “aset lembaga” dan frasa “kerugian Negara” menjadi “kerugian lembaga” sehingga ketika aset Negara (termasuk didalamnya aset BUMN dan kekayaan alam bangsa) dipindahtangankan oleh lembaga Pengelola Investasi (LPI), aset tersebut tidak lagi disebut sebagai aset Negara, tetapi aset Lembaga.
Bila dalam melaksanakan tugasnya, LPI tidak dapat mengelola investasinya dengan baik ataupun mengalami kejadian luar biasa yang tidak mampu diprediksi sebelumnya, Negara dapat kehilangan aset-asetnya yang berharga.
Bila kerugian tersebut hanya disebut kerugian lembaga, maka Negara telah kehilangan hak penguasaannya. Ini berpotensi menabrak UUD NRI 1945 Pasal 33 ayat 2 dan 3 bahwa bumi, air dan kekayaan alam serta cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara, dikuasai oleh Negara.
Potensi pelanggaran terhadap konstitusi juga terlihat dari pasal yang memberikan kekebalan hukum kepada pengurus dan pegawai Lembaga Pengelola Investasi (LPI) dalam Pelaksanaan tugas dan kewenangannya yang tidak bisa dituntut/digugat baik secara pidana maupun perdata.
Ini dapat melanggar asas “Persamaan dihadapan hukum” atau “Equality Before The Law,” dan bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (1) UUD NRI 1945 tentang asas persamaan dihadapan hukum dan Pasal 27 ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyebutkan bahwa semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
Masih di Bab 10 tentang Invetasi Pemerintah Pusat, terdapat potensi pelanggaran terhadap prinsip Ketatanegaraan dengan hilangnya status “Penyelenggara Negara” pada pegawai Lembaga Pengelola Investasi (LPI) yang mengelola aset dan kekayaan Negara, serta tidak diauditnya LPI oleh BPK sebagai Lembaga Negara yang berwenang melakukan pemeriksaan keuangan terhadap lembaga yang mengelola aset Negara.
Ini termaktub dalam Pasal 154 dan 153 yang menghilangkan status penyelenggara Negara pada pegawai LPI dan menyatakan pemeriksaan keuangan LPI hanya dilakukan oleh akuntan publik yang terdaftar pada BPK.
Padahal mereka adalah orang yang diberi kewenangan mengelola uang Negara dan menerima gaji dari Negara, seharusnya mereka termasuk penyelenggara Negara.
Ketentuan ini juga telah mereduksi UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang menempatkan penyelenggara Negara sebagai subyek tindak pidana korupsi yang bisa dimintai pertanggungjawaban.
Bab 10 ini juga memuat ketentuan yang mereduksi UU BUMN dan UU Keuangan Negara, yaitu Pasal 160 dan Pasal 154 ayat 3, yang mengambil alih pengaturan tentang pengelolaan keuangan Negara dengan menyebutkan ketentuan peraturan perundang-undangan terkait yang mengatur pengelolaan keuangan negara/kekayaan negara/badan usaha milik negara tidak berlaku untuk LPI yang diatur berdasarkan Undang-Undang ini.
Dengan alasan proses investasi sudah dilakukan dengan itikad baik, walaupun tidak teliti dan tidak profesional, pengurus dan pegawai LPI memiliki kekebalan hukum sehingga tidak dapat dijerat meskipun terjadi kerugian Negara.
Perubahan yang sangat menyedihkan juga terjadi di pasal 20 UU tentang Paten, RUU Cipta Kerja ini menghapus kewajiban pemegang paten untuk menggunakan produk dalam negeri dan melakukan transfer teknologi di Indonesia.
Hilangnya ketentuan ini justru berpotensi membuat perusahaan milik anak bangsa kehilangan pasar dan customernya. Secara otomatis akan menghilangkan lapangan kerja bagi rakyat Indonesia, padahal tujuan dibuatnya UU Omnibus Law Cipta Kerja adalah menciptakan lapangan kerja.
Belum lagi cerita perubahan pasal-pasal tentang Ketenagakerjaan di RUU Cipta Kerja yang
merugikan buruh Indonesia. Hanya namanya saja yang seolah-olah RUU ini untuk menciptakan
lapangan kerja, tapi lapangan kerja sebenarnya untuk warga asing.
RUU Cipta Kerja ini telah disetujui Badan Legislasi DPR-RI pada sabtu tengah malam, 3 Oktober
2020.
Hanya Fraksi PKS dan Fraksi PD yang menolak RUU ini, atau hanya sekitar 16% kursi DPR.
Selanjutnya RUU ini akan dibawa ke Rapat Paripurna DPR-RI untuk pengesahannya pada
tanggal 8 Oktober 2020 ini. (*)