Segelas Kopi untuk Sejarah Bangsa

Oleh: Bernadinus Steni

“Daerah ini dulu angker” kata pak Agus. Tiap waktu nyawa bisa melayang karena dendam. Orang-orang tidak akan ada di sawah sore hari.

Jelang petang mereka segera kembali ke rumah mengamankan diri. Solidaritas sosial yang dulunya berakar dalam tradisi mendadak musnah. Tidak mudah percaya orang.

Tiap-tiap orang berusaha keras mencari cara mengamankan dirinya sendiri. Buat pak Agus, melewati badai pertikaian itu adalah keberuntungan.

Untuk masa sekarang ini, celetukannya optimis, “Sekarang jauhhh lebih baik dek”. “Kita hidup di negara hukum. Orang tidak lagi semena-mena membunuh dan menyiksa orang. Hidup sekarang ini lebih baik..”

Meski resah di masa pandemi, orang masih bisa leluasa. “Kami bertahan dengan sawah garapan seluas 60 are ini”, kata pak Agus. Sawah yang dia kelola bukan miliknya, tapi milik seorang kerabat sekampung.

Sementara pak Agus adalah petani penggarap. Dalam kerja sama lahan garapan, pemilik tidak mengeluarkan biaya apapun. Hanya terima bersih.

Tetapi kemurahan hatinya merelakan tanah digarap orang lain menghidupi keluarga tak bertanah. Dari tanah itu diproduksi panenan 3 ton tiap musim tanam yang dibagi separuh-separuh.

BACA JUGA:
Derita Petani Pascabanjir,  Menanam Padi Menuai Pasir
Berita Terkait
Tinggalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan ditampilkan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. AcceptRead More