Segelas Kopi untuk Sejarah Bangsa

Oleh: Bernadinus Steni

“JANGAN sampai terulang pak. Terlalu ngeri. Juga konyol”. Demikian salah satu kutipan pembicaraan kami sore ini. Pak Agus namanya. Usianya sudah lebih 75 tahun.

Sore itu, tiba-tiba dia mengenang peristiwa 1965, suatu masa ketika dia sedang berkuncup di penghujung usia remaja. Sudah jadi pemuda, katanya. Ada rasa getir yang perih sekaligus ngeri dalam nada suaranya.

Saya merasakan senyap dalam cerita itu. Yakni suatu kesepian solidaritas yang mengurung perjalanan hidup Pak Agus dan menjadi pelajaran sepet yang mengatakan pada dirinya sendiri, “cukup sudah”.

Dia adalah petani penggarap di salah satu hamparan sawah yang indah di Jatiluwih. Obrolan sore ini terjadi begitu saja.

Awalnya kami hanya ijin mampir buat makan dan membeli beras merah dari tangan pertama. Namun waktu yang jelang petang dan tingkap langit yang terus meredup, pertanda mau hujan, memaksa kami untuk berlama-lama.

Dengan keramahan tulus yang khas di kampung, Pak Agus meladeni kami. Kopi pahit dibuatkannya untuk menemani obrolan itu.

BACA JUGA:
Kreatifitas Pemuda Yatim-Piatu di Toto Ninu Cafe Desa Wisata Wae Lolos
Berita Terkait
Tinggalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan ditampilkan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. AcceptRead More