Saudara-Saudari (Refleksi dari Pati)

Oleh Gerard N. Bibang, alumnus IFTK Ledalero, pernah bekerja di Deutsche Welle di Koeln dan Radio Nederland Wereldomroep di Hilversum, sekarang tinggal di Jakarta.

Setelah memandang langit biru yang mendesah dalam sendu; dan benda-benda di langit meredup, mengharu-biru, jatuh; setelah dibisik semesta dan suara hati yang tak pernah senyap; setelah kau lihat kebohongan tidak punya pangkal paha; dan apa yang sebenar-benarnya benar tak dapat ditelikung di bawah selangkangan; akhirnya tahu kau hanya dihibur kata demi kata; akhirnya tahu kau dipimpin oleh maling, hipokrit dan psikopat; akhirnya tahu kau sedang terluka; dan terseret oleh kekuasaan yang merangsek batin; oleh perampok-perampok masa depan yang bermanis

Saudara saudari di bumi Pati: kami tunggu, kami tunggu!; di sana masih ada mentari; segala sesuatu mulai dari situ; berwarta, berpijar, bercahaya ke pelosok-pelosok negeri; mungkin ke ibukota, mungkin ke sana, mungkin ke sini; kami tunggu, kami tunggu; harapan tak pernah menggelapkan beningnya nurani; kita-kita bukanlah daun paku dan ayam sayur

Saudara-saudari, pemimpin itu besar dari lagak laku dan kata-katanya yang beretika; bangsa besar bukanlah bebek-bebek yang digiring dari kandang ke sawah, lalu dari sawah ke kandang; bangsa besar bukanlah bebek-bebek yang merasa kecut melihat tongkat besi dan arogansi; yang hanya bisa membisu menahan tangis dan perih

Berita Terkait
Tinggalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan ditampilkan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. AcceptRead More