Sarkastis Komunikasi di Ruang Publik (Berkaca Pada Dinamika Sidang Paripurna DPRD Sikka)

Dionisius Ngeta (Warga Masyarakat Sikka, Tinggal Di Nangahure Bukit)

Tingkah polah dan tutur kata tersebut mempertontonkan kepada publik bahwa pertama, menengah bahkan tingginya kelas sosial seseorang tidak selamanya berbanding lurus secara kultur. Kedua, pangkat, kedudukan atau jabatan seseorang tidak menjamin kemampuannya dalam berbahasa secara santun. Atau kemampuan barbahasa secara santun ditentukan oleh level budaya seseorang bukan jabatan/pangkat (Pranowo 2009: 33).

Bahasa menentukan perilaku budaya manusia, demikian Sapir dan Worf (dalam Wahab, 1995). Orang yang ketika berbicara menggunakan pilihan kata, ungkapan yang santun, struktur kalimat yang baik menandakan bahwa kepribadian orang itu memang baik. Sebaliknya, jika ada orang yang sebenarnya kepribadiannya tidak baik, meskipun berusaha berbahasa secara baik, benar, dan santun di hadapan orang lain; pada suatu saat tidak mampu menutup-nutupi kepribadian buruknya sehingga muncul pilihan kata, ungkapan, atau struktur kalimat yang tidak baik dan tidak santun.

Kesantunan selalu memiliki dua kutub, seperti antara anak dan orang tua, antara tuan rumah dan tamu, komunikator dan komunikan, politisi dan rakyat, eksekutif dan legislative, dan sebagainya (Muslich, 2006:1). Kesantunan berbahasa tercermin dalam tata cara berkomunikasi lewat tanda verbal atau tata cara berbahasa. Oleh Geertz (1976), sistem tindak laku berbahasa menurut norma-norma budaya itu disebut etika berbahasa atau tata cara berbahasa.

BACA JUGA:
DPR: Mosa Oa Daki Pai, Mosa Ata Pidi, Daki Ata Ti’i
Berita Terkait
Tinggalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan ditampilkan.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. AcceptRead More