Namun sayang , breakdown Sare Dame ini dalam bentuk kegiatan justru sulit dicerna akal sehat. Dengan segala daya, Sare Dame segera berganti kulit menjadi Eksplorasi Budaya. Apapun perubahan, Sare Dame atau Eksplorasi budaya tetap menjadi “karangan bebas” yang tidak menyentuh masalah. Nilai budaya seperti apakah yang hendak dieksplorasi dalam acara adat Binen-Maing (acara peminangan) di Kedang misalnya, yang dipusatkan di desa Kalikur ? Adakah Binen-Maing mengandung nilai-niai budaya yang demikian spesifik, sacral, yang penting untuk dilestarikan ? Inikah nilai budaya yang akan menjadi muatan kurikulum pendidikan kita di Lembata ?
Apakah tari Beku di desa Lodotodokowa begitu mendesak untuk dipertontonkan sekarang di saat masyarakat sibuk berkebun demi keseharian mereka ? Bagitu juga dengan upacara Lou Tiwa di Lera Gere. Apakah ini sebuah alasan praktis dan dapat dipertanggungjawabkan sebagai pembersihan wabah omnicron demi melindungi masyarakat ?
Kreasi pemerintah melalui Sare Dame yang kemudian berganti kulit menjadi eksplorasi budaya rasanya semakin menguras kewarasan public. Dari Sare Dame hingga menjadi eksplorasi budaya tidak menyentuh kepentingan kelas masyarakat manapun kecuali kelas penguasa yang ingin meninggalkan panggung dengan uang cash di saku.
Uraian ini bagus kalau dilihat dari kecurigaan menempatkan Sare Dame sebagai alat politik untuk mencapai kekuasaan. Tapi bagaimana kalau kita menempatkan eksplorasi budaya Sare Dame ini sebagai suatu kegiatan eksplorasi budaya yang dilaksanakan karena sesuai dengan nomenklatur yang telah ditetapkan DPRD Lembata dalam rangka pemajuan kebudayaan sesuai dengan UUD 45, Pasal 32, ayat.2, dan UU No.5 tahun 2017 tentang pemajuan kebudayaan daerah dan nasional?