Sejauh yang dapat kita ikuti, Bupati Lembata DR. Thomas Ola Langoday sudah lebih awal menangkap kegelisahan masyarakat soal Sare Dame dimaksud. Sebagai respons atas reaksi negative masyarakat, bupati dengan segala kecerdasan yang dimiliki memberi rasionalisasi program Sare Dame dengan uraian tambahan. Bahwa program tersebut tidak hanya mencakup hubungan social (antar-manusia) tetapi juga hubungan kosmologis (manusia dengan lingkungan hidup), hubungan manusia dengan pencipta (manusia dengan Tuhan) termasuk dalam konteks ini hubungan dengan Leluhur. Program ini dianggap urgen karena diletakkan pada kondisi social obyektif Lembata saat ini yakni bencana alam yang tak mengenal jeda. Bupati bahkan memberikan sebuah perspektif yang lebih progresif bahwa program ini ke depan akan menjadi content yang mengisi dunia pendidikan kita. Entah dalam materi muatan local atau muatan kurikulum dalam konteks merdeka belajar.
Tidak sulit seorang bupati berpendidikan doctor merasionalisasikan program kepada masyarakat. Kita semua mungkin merasa sebagai masyarakat terinformasi tetapi guru kita baru sebatas google. Setiap pertanyaan akan selalu ada jawaban tetapi antara benar dan salah tidak bisa kita bedakan. Itulah untungnya bupati dengan raihan jenjang akademis tertinggi. Bisa meyakinkan masyarakat dengan penjelasan yang menyertai inti pemikiran bupati dalam konteks Sare Dame.
Uraian ini bagus kalau dilihat dari kecurigaan menempatkan Sare Dame sebagai alat politik untuk mencapai kekuasaan. Tapi bagaimana kalau kita menempatkan eksplorasi budaya Sare Dame ini sebagai suatu kegiatan eksplorasi budaya yang dilaksanakan karena sesuai dengan nomenklatur yang telah ditetapkan DPRD Lembata dalam rangka pemajuan kebudayaan sesuai dengan UUD 45, Pasal 32, ayat.2, dan UU No.5 tahun 2017 tentang pemajuan kebudayaan daerah dan nasional?