Sejak pencanangannya untuk menjadi sebuah program dalam APBD Kabupaten Lembata Tahun Anggaran 2022, Sare Dame cukup mengusik kewarasan masyarakat. Diartikan secara denotative, sare dame adalah perdamaian untuk kebaikan bersama. Sepintas ini ide mulia, dibungkus dalam kemasan yang mentereng. Namun penerimaan masyarakat tidak sesederhana arti yang terkandung dalam frase tersebut.
Pertanyaan yang terus mengusik adalah, Apakah kondisi terkini Lembata sudah seperti di Suriah (pertentangan antar-aliran agama) atau Jalur Gaza (wilayah sengketa Israel -Palestina) sehingga mengganggu rasa kantuk pemerintah karena otak dan hati lebih banyak memproduksi ketakutan dan kegelisahan ?
Apa esensi program ini untuk sebuah kabupaten kecil seperti Lembata yang masyarakatnya terus didera dalam keterbatasan air bersih, korban bencana yang tidak terurus, infrastruktur jalan yang rusak berat hingga menelan korban harta dan jiwa? Mengapa Sare Dame sekejap menjadi begitu penting melampaui kasus korupsi, dan banyak masalah social kemasyarakatan yang terkesan terabaikan ? Jika masyarakat kecil masih hidup dalam keadaan aman tanpa rasa takut, masih tetap tersenyum di tengah beban ekonomi yang menghimpit, patutkah Sare Dame itu hadir dalam situasi social yang tenteram-harmoni. Untuk kepentingan apa Sare Dame itu dijadikan glorifikasi oleh masyarakat Lembata ?
Uraian ini bagus kalau dilihat dari kecurigaan menempatkan Sare Dame sebagai alat politik untuk mencapai kekuasaan. Tapi bagaimana kalau kita menempatkan eksplorasi budaya Sare Dame ini sebagai suatu kegiatan eksplorasi budaya yang dilaksanakan karena sesuai dengan nomenklatur yang telah ditetapkan DPRD Lembata dalam rangka pemajuan kebudayaan sesuai dengan UUD 45, Pasal 32, ayat.2, dan UU No.5 tahun 2017 tentang pemajuan kebudayaan daerah dan nasional?