“Sada-Peda, Peda-Pani, Peda-Podo” dalam Tradisi Masyarakat Adat Woko Mbamo Kec. Nangaroro Kab. Nagekeo (Sebuah Tinjauan dan Perpektif Sosial Budaya)
Oleh Dionisius Ngeta, S. Fil (Putera Woko Mbamo Nangaroro Nagekeo)
Masyarakat adat Woko-Mbamo memaknai “sao-tenda” (rumah tangga) tidak hanya dalam artian fisik. Bangunan rumah yang bagus, megah, kokoh dan permanen bukan satu-satunya hal yang penting dalam sebuah kehidupan rumah tangga (sao-tenda).
“Sao-Tenda” bagi mereka adalah suasana, kondisi, situasi dan nilai-nilai spiritual yang memancarkan aura keadaban kehidupan rumah tangga keluarga itu, seperti aura persekutuan dan persatuan (kodo sa toko-tadi sa tembu), aura kebersamaan dan kekeluargaan (to’o jogho-wangga sama), aura ketetanggaan dan kemasyarakatan (sao we’e-ire reru, tuka nua-todo oda), aura kebijaksanaan dan keimanan (ngai ria-ate pawe), dan aura keharmonis dan kebahagiaan.
Kehancuran dan keruntuhan yang didalami sebagai dampak dari “sada peda” adalah berkaitan dengan nilai-nilai itu. Dengan demikian bangunan rumah yang permanen dan megah tidak menjadi ukuran atau jaminan. Yang pertama dan utama yang dibangun dalam keluarga adalah berkaitan dengan nilai-nilai tersebut di atas.
Nilai-nilai dan suasana-suasana di atas tercabik-cabik oleh kasus itu. Harga diri dan marwah kehidupan rumah tangga hancur sebagai akibat dari betapa busuknya perbuatan tersebut. Suasana kebersamaan dan kekeluargaan menjadi renggang (mbana sede rada-dora meta nete) bahkan dapat menimbulkan “tangi te’nnda-tenda-ngamba” (tangi: tangga. Te’nnda: jarak, jurang. Tenda: bale-bale. Ngamba: jurang).