“Sada-Peda, Peda-Pani, Peda-Podo” dalam Tradisi Masyarakat Adat Woko Mbamo Kec. Nangaroro Kab. Nagekeo (Sebuah Tinjauan dan Perpektif Sosial Budaya)
Oleh Dionisius Ngeta, S. Fil (Putera Woko Mbamo Nangaroro Nagekeo)
Kesalahan, dosa tersebut adalah momok dengan tingkat kebusukan yang dahsyat (sada re’e) sehingga tak mudah hilang atau terhapus dari ingatan masyarakat terutama pihak korban. Perbuatan itu akan sulit dilupakan dan menjadi momok dalam kehidupan keluarga dan masyarakat (wau gha sao-umba toto nua).
Perilaku itu tak akan terlupakan, tetap diceritakan, walaupun pelakunya sudah meninggal dunia (wau jeka mata-ngesa jeka dia tana). Para pelaku akan selalu menjadi buah bibir masyarakat (ata si’i esa-liwu miku kumi) bahkan dibuli karena menampar muka “sao-tenda, tuka-nua, todo-oda, tercatat dalam ingatannya dan bahkan dalam lembaran sejarah dan silsilah keluarga.
Karena itu masyarakat Woko-Mbamo-Nagekeo tidak hanya menyebut perbuatan itu dengan ungkapan “Sada-peda” tapi juga “Peda pani”. Mereka tahu bahwa “Sada peda” memiliki dampak dan resiko yang besar (pani) yang harus ditanggung. Maka “Sada peda” diklasifikasi oleh masyarakat Woko Mbamo dalam kelompok “Sada mere-deko dewa, sada reu-deko dema”.