
Retorika Konstruktif di Tengah Pergolakan Bangsa
Oleh Paskalis Semaun, SVD, Imam Katolik berkarya di Paraguay dan penulis lepas, aktif dalam kegiatan kemanusiaan dan keadilan sosial
Presiden Prabowo sempat mendorong pembukaan ruang dialog antara DPR dan Mahasiswa—langkah yang patut diapresiasi secara simbolis. Namun seperti diingatkan Barack Obama, dialog hanya bermakna jika ada niat untuk berubah, bukan sekadar mempertahankan status quo. Sayangnya, dialog di parlemen lebih sering menjadi formalitas politik tanpa substansi, menjadikan demokrasi sebagai monolog kekuasaan.
Mirisnya lagi yang terjadi baru-baru ini, DPR bukannya menemui para pendemo tapi malah memilih WFH (Work From Home). Terkesan bahwa statusnya sebagai wakil rakyat justeru menjauh dari rakyat.
Rakyat yang mau menyuarakan aspirasi justeru dihadapkan dengan kawat berduri, pentungan, dan gas air mata.
Di sisi lain, ketimpangan alokasi anggaran semakin memperjelas kesenjangan struktural. Dana publik dalam jumlah besar mudah mengalir ke elit politik dengan menaikan tunjangan dan gaji Anggota DPR RI yang totalnya Rp.120-an juta. Sementara dosen, peneliti, guru, dan tenaga kesehatan harus berjuang keras mengakses anggaran yang jauh lebih kecil. Padahal itu merupakan bagian dari kepentingan umum (common interest) demi kebaikan bersama (common good) rakyat Indonesia.
