Hadirnya seorang ibu dalam sebuah keluarga, menjadi simbol spirit kehidupan. Ia menjadi semacam ” roh ” yang memberi daya hidup. Sebab, kehidupan selevel manusia, berawal dari rahim seorang ibu ( terkandung dan terlahir ). Pun, tentang cinta, hati seorang ibu menjadi ” rahimnya “. Kelemahlembutan, kesabaran, ketulusan dan kesetiaan adalah pancaran cinta seorang ibu. Nilai – nilai kebajikan demikian, menjadi warisan seorang ibu bagi kehidupan mestinya senantiasa ” dikonservasi ” demi kehidupan yang berimbang antara cinta dan kedamaian.
Membaca konteks Puisi ” Tini Minta Karet ” pada bagian ini, adalah kegelisahan dan keprihatinan bagi Edi Menori, manakala ibu yang diidealkan meninggalkan ” noktah “, sebuah persoalan yang ” dikulitinya “. Antagonisitas ibu pada Puisi ” Tini Minta Karet ” sekurangnya bagi Edi Menori, telah mendegradasikan nilai cinta yang dimiliki tokoh yang disebut ibu. Dan persis di sini, kerinduan Tini akan sosok seorang ibu yang ideal, mewakili kegelisahan dan keprihatinan Edi Menori.
Terima kasih atas ulasannya. Sedikit bertanya tentang kutipan pernyataan Rene Descartes: ” Hidup yang tidak dihidupi, tidak layak dihidupi ”. Saya mendalami filsafat Descartes, namun tidak menemukan pernyataan itu. Setahu saya, hanya Socrates yang pernah membuat pernyataan sejenis, tetapi bukan seperti yang dikutip penulis. Socrates berseloroh demikian: ” Hidup yang tidak direfleksikan, tidak layak dihidupi ”. Bukan seperti yang dikutip penulis ” Hidup yang tidak dihidupi, tidak layak dihidupi ”