Menjadi seorang ayah adalah menjawabi panggilan kebajikan tugas – tugas pengayoman bagi sebuah keluarga. Dia tidak semata menjadi seorang ayah yang menafkahi secara fisik demi pemenuhan kepuasan lahiariah, tetapi dia juga menjadi seorang ayah yang menafkahi secara psikis demi pemenuhan kepuasan batiniah.
Terlepas dari itu, hal – hal kasuistik yang tidak jarang “dilakoni” segelintir ayah dengan pelbagai kasus penelantaran, perjudian, perselingkuhan, kekerasan ( fisik, emosional, seksual ) menjadi titik kritik seorang Edi Menori. Ayah yang begitu diidealkan menjadi pengayom, secara paradoksal berubah menjadi buas, ganas dan bahkan menjadi ancaman keutuhan sebuah keluarga.
Ideal – ideal seorang ayah yang pengayom, sedemikian dirindukan sosok seorang anak yang tersimbolkan dalam diri Tini. Tini minta karet // Untuk mengikat kaki Papa // Agar betah di rumah, Tini minta karet // Untuk mengikat kaki Papa // Agar tidak ke tempat judi, Tini minta karet // Untuk mengikat rencana Papa dan Mama // Agar tidak bercabang tidak menentu, Tini minta karet // Untuk mengikat tangan Papa // Agar tidak pukul mama.
Terima kasih atas ulasannya. Sedikit bertanya tentang kutipan pernyataan Rene Descartes: ” Hidup yang tidak dihidupi, tidak layak dihidupi ”. Saya mendalami filsafat Descartes, namun tidak menemukan pernyataan itu. Setahu saya, hanya Socrates yang pernah membuat pernyataan sejenis, tetapi bukan seperti yang dikutip penulis. Socrates berseloroh demikian: ” Hidup yang tidak direfleksikan, tidak layak dihidupi ”. Bukan seperti yang dikutip penulis ” Hidup yang tidak dihidupi, tidak layak dihidupi ”