Sebait curhatan itu ia lipat dan selipkan di dalam sarung bantal mengharapkan ada mimpi setelah nyenyak yang panjang. Ia kepingin sekali bermimpi tentang kasih sayang dimana suami memeluknya erat, kedua deruh nafas bertengkar dengan jarak dekat, tanpa berkompromi suaminya berujar, aku mengasihimu.
Dunia masih mengendap gelap. Pekat masih membentang luas. Belum satu suara kokokan ayam yang menandakan datangnya pagi. 12.00, ia terbangun karena ketukan pintu yang keras dan mengudang keributan. Semburan aroma alkohol menyumbat hidungnya. Dilihatnya leher dan pipi suami tergambar semacam ukiran bibir manis merah merona. Baju putih lengan panjang yang ia kenakan tidak lagi rapi. Kotor dan khusyuk. Banyak noda-noda tetapi anehnya bukan noda hitam atau merah tetapi putih mengental. Suamiku, suamiku meniduri perumpuan lain. Betapa perih hati ini. seribu duri tak akan mengalahkannya. Sakit sangat pahit hidup ini. Buatkan sepiring mie panas untuk saya, jangan lupa berikan lombok yang banyak. Sambil menendang dan mendorong istrinya ke dapur. Si istri hanya tersenyum sambil tertawa dengan sikap kasar suaminya. Dengan tenang ia mengambil piring kaca, menuangkan air panas membuat mie dengan lombok yang banyak sesuai dengan suruhan suaminya. Dengan tangan gemetar karena panas bercampur dengan rasa takut menyodorkan sepiring mie panas kepada suami yang sedang duduk lemah di meja makan. Ia merampas piring berisi mie panas tersebut dan dengan lahap menyantapnya. Sedang sang istri dengan diam-diam mengambil sebuah buku bacaan di rak buku pribadinya, membuka sebuah halaman dari buku yang sudah dia tandai dan membacanya seolah-olah sedang membawakan sebuah puisi yang teduh dan inspiratif.