——————— ——————— ————————–
Baju lengan panjang putih, bersih berkilau, dipakai pada tubuh suami tercinta. Ia berpamitan tanpa ada tujuan yang jelas, hendak kemana ia pergi. Disitu di depan pagar rumah ada sebuah motor mio putih, mungkin teman yang diperintahkan untuk menjemputnya. Si buah hati menutup pintu rumah dan dengan gontai masuk ke kamar. Ia memilih membaca dan merenungkan firman Tuhan di dalam kitab suci. Mungkin ini cara satu-satunya ia mendapatkan kekuatan agar tetap kuat dan tabah menghadapi suaminya yang kasar dan bengis itu. Tidak setiap saat ia membaca kita suci., palingan ketika suami sedang keluar atau sedang tidur maka ia mencuri sedikit waktu mengambil sajak-sajak sabda merangkai sebuah puisi sebagai khasanah penguat untuk dirinya.
Sebab mereka memberi dari kelimpahan tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padannya, yaitu seluruh nafkahnya.
Sepenggal ayat kitab suci yang mengisahkan persembahan seorang janda miskin. Dia menunduk diam dan merenung. Mencoba tegar dan membuat paralel antar ayat dan kisah hidup dirinya, suami dan hidup seperti dalam penjara. Disiksa, diludahi, ditendang, dilempari dengan piring kaca. Hancur berkeping di muka. Darah bercucuran menempel di setiap beling- beling piring kaca. Ia menunduk dan memilih mana darah mana beling, mana tajam mana sakit. Ia terus berusaha menemukan kebahagian di anatar sela-sela beling, tetes darah dan kasih sayang. “saya istrimu, lewat sakramen perkawinan saya belajar untuk taat dan setia. Semua pemberiaan dan pelayanan dariku memang belum setinggi gunung menjulan megah dan indah. Saya berkomitmen untuk menjadi lebih baik lagi. Sayang, rusuk yang hilang itu kini dan sekarang ada padaku. Kamu ingatkan waktu dimana kata cinta itu kamu seruhkan dari mulutmu yang mungil. Beri saya waktu untuk menjadi lebih matang. Seperti apapun kamu aku suka. Saya suka luka, saya suka sakit dan saya suka menderita. Ingin kusantap ketiga-tiganya sekaligus. Tertanda : pirang kaca.