Pohon itu menjadi pertaruhan orang-orang tua untuk menyelesaikan pendidikan anak mereka demi mimpi mengangkat nasib, meski seringkali perjuangan itu tidak selalu berarti sukses..
Tak jarang ijon kopi mendahului panen agar si perantau bisa setia dengan kuliahnya. Di ujung musim, orang-orang tua itu, bahkan tidak mendapatkan sepeser pun. Habis buat bayar ijon.
Lintah darat di kampung-kampung lebih dari pemberi utang yang senyumnya lebar. Ketika utang tidak dibayar, mereka tidak hanya mendapatkan biji kopi, tapi sekaligus dengan lahannya. Kopi adalah taruhan.
Walau harapan agar si anak menapak tangga nasib seringkali hanya berakhir dengan ratap tangis dan kertak gigi, kopi tetap setia tak memunggungi nasib. Entah kenapa, banyak anak kuliahan dari wilayah kami tidak betah dengan dunia kampus.
Mereka berakhir di ujung-ujung deker menghabiskan hari, tak mengabdi pada buku dan pelajaran. Mereka tak berbela rasa dengan orang tuanya yang menjungkir langit “dempul wuku tela toni”** mengolah kopi yang tak selalu berharga emas.