Perlakuan terhadap kopi sarat dengan cinta, hingga menebang pohonnya pun harus melalui ritual minta restu. Kopi adalah tradisi.
Pada musim panen, kopi jadi perbincangan dan perilaku keseharian. Tidak hanya petani kampung yang sejak lahir telah hadir ditemani tumpukan karung kopi, setiap anak muda perantauan dari wilayah ini pasti pernah merasakan satu dua kali jadi petani kopi temporer.
Asyik. Pengalaman yang melelahkan memilih biji kopi matang sembari diserbu semut yang seringkali gemar bikin sarang di rimbunan daun kopi merajut kenangan tersendiri. Apalagi ditimpa suara alam dan senandung nenggo.
Aduhhh…tak terlupakan. Pengelolaan pasca panen pun bukan urusan gampang. Petani kopi tradisional di wilayah kami belum gaul dengan mesin pemecah biji kopi. Andalan mereka adalah lesung dan alu. Tumbuk kopi.
Setumpuk demi setumpuk sebelum menghabiskan berkarung-karung. Berhari-hari gotong royong mama-mama menumbuk kopi menghasilkan ritme yang selaras, beradu antara alu dan lesung.
Itu semua bikin hati terkulai ketika memorinya serta merta mencuat saat menyeruput kopi nun di suatu tempat di belahan dunia lain. Kopi adalah kenangan.