Ia lekas mengangguk. “Aku tentu tak setuju ayahku menjalankan bisnis semacam itu. Tetapi aku tak punya daya untuk menghentikannya.”
“Apa kau pernah menasihati atau memprotesnya?” tanyaku, sekenanya.
“Tentu saja,” jawabnya, lantas mengembuskan napas yang panjang. “Tetapi setiap kali aku melakukan itu, ia malah marah besar dan memintaku untuk tidak merecoki urusannya. Karena itu pula, aku memilih menjauh darinya dan indekos di kota ini, sembari menyembunyikan identitasku sebagai anaknya.”
“Sabarlah. Semoga saja ia segera menginsafi perbuatannya. Bagaimanapun, ia adalah ayahmu. Kau tidak patut membencinya selain daripada perbuatannya itu,” tanggapku, sok bijak, sembari memikirkan alur pertanyaan yang tepat untuk sampai pada pertanyaan intiku.
Ia lalu mengangguk, kemudian merebahkan tubuhnya di atas pasir. Lantas tiba-tiba saja, ia menyinggung sendiri perihal yang ingin kuselidiki, “Karena itulah, belakangan ini, aku sangat mengkhawatirkannya, sebab ia akan kembali menerima kiriman narkoba dari luar negeri. Itu tentu mengandung risiko yang besar. Ia bisa saja tertangkap polisi dan dijerat hukuman yang berat, bahkan hukuman mati.”