Abstraksi itu pula yang mengucilkan Pancasila selama Orde Baru. Saat itu, burung Garuda berhenti jadi simbol dan struktur pengetahuan, bukan suatu aksi dalam tindakan nyata sehari-hari.
Penguasa dan doktriner Pancasila menggunakannya untuk membungkam protes, mengendalikan perlawanan, lalu menjalankan kejahatan sejadi-jadinya.
Kedua, Pancasila sebagai ujaran, kadang dilakukan dengan biasa dan banal. Ibarat moto dan iklan yang tayang cepat untuk promosi. Saya pernah mendengar Pancasila disebutkan dalam pembukaan suatu kegiatan senam.
“Pancasila…!!!” Pesertanya spontan menyahut “Yes”… Di Tv atau komentar koran, Pancasila juga demikian. Dia diucapkan begitu saja, tanpa maksud dan sikap apapun.
Ibarat iklan dan moto, setelah ujaran berlalu sikap sehari-hari pun tetap sama. Yang ini kita bisa saksikan dengan mudah, misalnya, ada pejabat atau aparat keamanan yang membawa mobil ugal-ugalan di jalan.
Di sana sini mobilnya dicanteli gambar Pancasila. Mereka minta prioritas sembari menyalakan sirene. Merasa penting, padahal mereka tidak sepenting itu untuk rakyat jelata. Malah, sebaliknya.