Pancasila pada Seutas Senyuman

Oleh: Bernadinus Steni

Abstraksi itu pula yang mengucilkan Pancasila selama Orde Baru. Saat itu, burung Garuda berhenti jadi simbol dan struktur pengetahuan, bukan suatu aksi dalam tindakan nyata sehari-hari.

Penguasa dan doktriner Pancasila menggunakannya untuk membungkam protes, mengendalikan perlawanan, lalu menjalankan kejahatan sejadi-jadinya.

Kedua, Pancasila sebagai ujaran, kadang dilakukan dengan biasa dan banal. Ibarat moto dan iklan yang tayang cepat untuk promosi. Saya pernah mendengar Pancasila disebutkan dalam pembukaan suatu kegiatan senam.

“Pancasila…!!!” Pesertanya spontan menyahut “Yes”… Di Tv atau komentar koran, Pancasila juga demikian. Dia diucapkan begitu saja, tanpa maksud dan sikap apapun.

Ibarat iklan dan moto, setelah ujaran berlalu sikap sehari-hari pun tetap sama. Yang ini kita bisa saksikan dengan mudah, misalnya, ada pejabat atau aparat keamanan yang membawa mobil ugal-ugalan di jalan.

Di sana sini mobilnya dicanteli gambar Pancasila. Mereka minta prioritas sembari menyalakan sirene. Merasa penting, padahal mereka tidak sepenting itu untuk rakyat jelata. Malah, sebaliknya.

BACA JUGA:
Prabowo Jadi Presiden, Apa yang Dapat Kita Harapkan?
Berita Terkait
Tinggalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan ditampilkan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. AcceptRead More