Orang Pintar Restui Tindakan Main Hakim Sendiri; PT Krisrama Pelanggar HAM atau Justeru Korban?
Oleh P. Dr. Alexander Jebadu SVD, Dosen IFTK Ledalero-Maumere
Kembali lagi ke soal pokok. Jadi menurut hukum, soalnya jelas. Pemilik Tanah Nangahale adalah Negara dan bukan Keuskupan Maumere dan bukan Provinsi SVD Ende. Keuskupan Maumere dan Provinsi SVD Ende hanya berperan sebagai peminjam tanah milik negara yang dikelola oleh badan usaha PTK.
Nah, sekarang warga setempat berpendapat bahwa tanah HGU ini adalah tanah nenek moyang mereka sebelum tahun 1859. Hal itu semua pihat tahu dan kalau hal itu benar maka mereka harus mengajukan gugatan perkara ke BPN. Kalau klaim mereka benar, maka negara Indonesia, bukan Gereja dan bukan SVD Ende, akan kembalikan tanah Nangahale dan Patiahu kepada mereka. Lalu Keuskupan Maumere dan Provinsi SVD Ende akan bersedia untuk tidak mengelolanya lagi. Tentu kelapa-kelapa dan tanaman lain harus dipetik dulu dan dimusnahkan dulu. Warga tidak bisa seenaknya petik dari hal yang mereka tidak pernah tanam. Itu prosedur hukumnya. Jadi warga masyarakat tidak bisa klaim dengan cara menyerobot. Dengan mengklaim hak dengan cara menyerobot seperti yang telah dilakukan sejak tahun 2914, maka warga masyarakat bermain hakim sendiri dengan buat rumah akal-akalan di situ, petik kelapa perusahaan sesukanya, sensor berates-ratus kayu sajati yang mereka tidak pernah tanam sendiri dan jual. Tindakan main hakim sendiri ini sudah dilakukan selama 10 tahun sejak 2014. Jelas, ini tindakan barbar, tak beradab, karena main hakim sendiri. Tapi tak seperti PT-PT biasa, PTK milik Gereja sebagai lembaga cintakasih telah bersabar selama 10 tahun.