Mereka mungkin gagal tamat sekolah menengah, tapi amat sangat paham psikososial ala kampung. Dus, dia mau bilang “bulan terbit di atas rumahnya” pun, tetap saja ada orang yang percaya dan terus jadi pelanggan setia.
Syahdan, pada era 1980an di kampung kami ada orang yang sudah malang melintang dengan urusan ini. Meski menjanjikan akumulasi rupiah, profesi ini tidak mudah.
Pada masa itu, orang harus jalan kaki berkilo-kilo untuk menjangkau satu kampung, kemudian kampung berikutnya. Memikul koper atau tas obat dengan jarak demikian, apalagi menyeberangi sungai, bukan perkara enteng. Belum lagi musim hujan.
Topografi yang curam bikin jalanan serta merta jadi musuh. Tadinya debu, lalu genangan air mengubahnya jadi lumpur licin yang senang bikin kita terpelanting.
Sungai yang biasanya beraliran hanya sejengkal dan senyap mendadak galak dan minta korban. Itu lebih dari 30 tahun lalu.
Tapi saat ini pun, pemandangan semacam itu masih kerap dijumpai. Janji politik bikin jalan ini dan itu ketika PILKADAL (Pemilihan Kepala Daerah Langsung) atau PILEGAL (Pemilihan Legislatif Langsung) menguap demikian cepat. Barangkali lupa, adalah ciri komitmen pembangunan di wilayah ini.