Merdeka atau Masih/Tetap Terpasung? (Menakar Paradigma dan Perlakuan Terhadap Diffabel Mental)
Oleh Dionisius Ngeta, S. Fil, Koordinator di Yasbida – Panti Sta. Dymphna Wairklau – Maumere – Flores - NTT
Anton. M. Moelino mendefinisikan arti cacat dalam beberapa pengertian: Pertama, kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya kurang baik atau kurang sempurna (terdapat pada badan, benda, batin, atau akhlak). Kedua, lecet (kerusakan, noda) yang menyebabkan keadaannya kurang baik. Ketiga, cela atau aib. Keempat, tidak atau kurang sempurna. Selanjutnya, ia mendefinisikan cacat tubuh sebagai kerusakan pada tubuh seseorang, baik badan maupun anggota badan, baik kehilangan fisik, ketidaknormalan bentuk-bentuk maupun berkurangnya fungsi karena bawaan sejak lahir atau karena penyakit dan gangguan lain semasa hidup sehingga timbul keterbatasan yang nyata untuk melaksanakan tugas hidup dan penyesuaian diri.

Bertolak dari definisi di atas, dapat dilihat adanya pemahaman yang keliru yang mengaitkan kecacatan dengan kualitas dalam berbagai bidang kehidupan. Kecacatan sering diidentik dengan kekurangan dan ketidaksempurnaan pribadi dan kepribadian seorang diffabel. Pandangan negatif terhadap orang-orang diffabel yang hanya berlandaskan pada penampilan fisik atau mental ini adalah suatu pandangan yang tidak sehat dan destruktif, di mana badan atau penampilan fisik-materi menjadi landasan penilaian terhadap seseorang. Badan dilihat seolah-olah terpisah dari yang batiniah. Namun pada hakekatnya manusia bukan terdiri atas badan semata-mata, tetapi manusia adalah makhluk yang terdiri dari jiwa dan badan, fisik dan mental. Dengan kata lain manusia adalah pribadi yang utuh dan tak terpisahkan. Itu berarti penilaian terhadap difabel yang hanya berpatok pada kriteria fisik atau mental saja adalah suatu penilaian yang tidak benar, tidak proporsional dan sangat diskriminatif.