Merdeka atau Masih/Tetap Terpasung? (Menakar Paradigma dan Perlakuan Terhadap Diffabel Mental)
Oleh Dionisius Ngeta, S. Fil, Koordinator di Yasbida – Panti Sta. Dymphna Wairklau – Maumere – Flores - NTT
Realitas ini berdampak bukan hanya pada terbatasnya interaksi sosial kaum disabilitas dengan lingkungan dan masyarakat sekitarnya tetapi justeru memperparah kondisi kesehatan mentalnya, hak-hak mereka tidak terpenuhi dan harkat-martabatnya sebagai manusia direndahkan. Hal-hal seperti ini sering berakibat pada kemiskinan, kesehatan yang buruk, tekanan psikis yang semakin dalam, pengabaian sosial, penelantaran dan keterbatasan akses pada hak-hak mereka. Bila cara pandang, sikap dan perilaku kita terus demikian, mungkin kita bisa bertanya, benarkah penyandang diffabel tidak punya kemampuan tertentu untuk diaktualisasikan atau apakah mereka tidak punya hak-hak untuk mendapatkan semuanya itu!

Pertanyaan reflektif dan retoris ini, selain menggugah kita untuk menukik lebih dalam pada bagaimana pemahaman dan perlakuan masyarakat terhadap penyandang diffabel mental tetapi juga menggugat segala bentuk dan cara pandang serta perlakuan yang diskriminatif dan tidak proporsional terhadap orang difabel pada umumnya dan disabilitas mental khususnya. Pemahaman, cara pandang dan diskriminasi dalam perlakuan tersebut seolah-olah difabel mental adalah manusia kelas dua atau bukan pribadi yang utuh. Bukankah mereka adalah pribadi yang utuh kendatipun mereka cacat secara fisik, mental atau kejiwaan. Apakah proporsional mengidentikan kecacatan dengan kekurangan atau ketidaksempurnaan? Dan apakah tidak diskriminatif bila penilaian itu hanya berpatok pada kondisi fisik atau jiwa dan mental semata?