Merdeka atau Masih/Tetap Terpasung? (Menakar Paradigma dan Perlakuan Terhadap Diffabel Mental)

Oleh Dionisius Ngeta, S. Fil, Koordinator di Yasbida – Panti Sta. Dymphna Wairklau – Maumere – Flores - NTT

Menari “Jai” Bersama Difabel Mental Di Panti Santa Dymphna Maumere Flores

 

Banyak di antara kita belum familiar dengan terminologi diffabel mental (disabilitas mental). Terminologi “orang gila”, buah dari terjemahan penamaan bahasa daerah kita terhadap penyandang disabilitas mental lebih familiar di telinga kita dan begitu mudah diucapkan seperti “ata mbingu (Ende), “ata bingu” (Lio, Nagekeo, Bajawa), “ata wairumang” (Maumere) atau “ata kwan” (Larantuka). Familiaritas tersebut berkontribusi pada  cara pandang bahkan perilaku kita terhadap mereka. Istilah diffabel (mental) tidak akan pernah diperoleh dalam Kamus Umum atau Kamus Besar Bahasa Indonesia. Terminologi itu merupakan kata serapan yang terbentuk dari dua kata bahasa Inggris, different ability (diffabel) atau disabilitas. Artinya, kemampuan yang berbeda atau kemampuan khusus.

Meskipun tidak tertulis dalam Kamus Bahasa Indonesia dan tidak umum digunakan tetapi istilah ini memberikan makna dan tekanan yang lebih positif.  Ia merujuk pada kemampuan khusus atau berbeda daripada ketidakmampuannya atau ketidaksempurnaan. Sementara terminologi “orang gila” lebih merujuk pada  kekurangan, perbedaan, ketidakbergunaan, ketidakmampuan, ketidaksempurnaan bahkan sering dianggap sebagai suatu realitas yang memalukan/aib. Terminologi “orang gila” telah menunjukkan sebuah pemisahan bahwa mereka adalah kelompok lain, yang terpisah/berbeda dengan kita.

BACA JUGA:
Kehormatan Lebih Penting dari Sekadar Fatamorgana Kekuasaan (Mencermati Leadership Style Presiden Jokowi)
Berita Terkait
Tinggalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan ditampilkan.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

This website uses cookies to improve your experience. We'll assume you're ok with this, but you can opt-out if you wish. AcceptRead More